Hadiri COP 16 CBD Kolombia, Delegasi Muda Indonesia Pulang Bawa Wawasan dan Semangat Tak Ternilai

Di tengah kompleksitas isu lingkungan ini, harapan baru datang dari anak muda Indonesia yang baru saja kembali dari Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP16 CBD) di Cali, Kolombia, pada November tahun lalu. Foto: Istimwa untuk apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Para delegasi muda Indonesia yang kembali dari Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP16 CBD) di Cali, Kolombia membawa beberapa pengetahuan berharga dan rencana penerapannya dalam komunitas lokal mereka.

Mereka pulang membawa semangat dan pengetahuan berharga yang siap diterapkan di komunitas lokal, sekaligus menjadi penggerak perubahan di tengah masyarakat.

Pelaksanaan COP 16 CBD terbagi atas dua zona utama, yakni Blue Zone dan Green Zone. Di Blue Zone, para delegasi belajar tentang pentingnya kerja sama internasional dan negosiasi diplomatis dalam mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi semua pihak. Mereka dapat menerapkan keterampilan ini dalam mendukung kebijakan lingkungan di tingkat lokal dan nasional.

Khusus di Green Zone, para delegasi terinspirasi oleh berbagai inisiatif konservasi yang dipimpin oleh komunitas lokal di seluruh dunia. Mereka dapat mengadaptasi dan mengimplementasikan program-program serupa di Indonesia, seperti konservasi hutan adat atau pelestarian spesies langka.

Salah satu pelajaran penting dari Green Zone adalah peran penting masyarakat sipil dalam pelestarian lingkungan. Delegasi bisa menginisiasi program-program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan penduduk lokal dalam upaya konservasi dan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Melalui berbagai sesi dan diskusi, delegasi menyadari pentingnya edukasi dan kesadaran publik mengenai isu keanekaragaman hayati. Mereka bisa mengadakan kampanye edukatif di sekolah-sekolah, universitas, dan komunitas untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati.

Delegasi juga belajar tentang teknologi dan inovasi ramah lingkungan yang dapat diterapkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Mereka dapat mempromosikan penggunaan teknologi ini di komunitas mereka, seperti energi terbarukan atau praktik pertanian berkelanjutan.

Masyarakat adat dan komunitas lokal

Menghadiri COP16 CBD, cerita inspiratif datang dari Naomi Waisimon, Novita Ayu Matoneng Oilsana, dan Andi Reza Zulkarnain yang menunjukkan betapa pentingnya kehadiran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pertemuan internasional tersebut. Mereka membawa semangat dan pengetahuan berharga yang dapat diterapkan di komunitas lokal masing-masing, serta memperjuangkan isu-isu lingkungan dan keanekaragaman hayati dengan penuh dedikasi.

Bagi Naomi Waisimon, seorang social entrepreneur yang merupakan bagian dari masyarakat adat Papua, menilai pertemuan dengan masyarakat adat dari berbagai negara memberikan rasa persaudaraan dan dukungan dalam perjuangan mereka.

“Hal itu membuat saya merasa memiliki teman, terkait apa yang kami perjuangkan di Papua,” kata Naomi dalam keterangannya diterima apakabar.co.id, Selasa (14/1).

Menurutnya, sesi Net Positive Commitments in Tourism memberikan wawasan tentang bagaimana pengembangan wisata dapat menjadi solusi untuk isu ekonomi, iklim, dan keanekaragaman hayati.

“Topik ini sejalan dengan apa yang kami lakukan. Rasanya seperti mendapatkan penguatan energi dan semangat baru,” ujar Naomi.

Pendiri Komunitas BALENTA, Novita Ayu Matoneng Oilsana menyatakan hal serupa. Ia menyadari pentingnya kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam mereka.

Menurutnya, acara di Green Zone dikemas sebagai bentuk kedaulatan dan perlawanan. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang hadir di Green Zone, di dalam tenda-tenda di sepanjang Sungai Cali, membuktikan bahwa mereka berhak penuh atas kedaulatan tanah dan kekayaan alamnya.

“Mereka melawan dengan cara membawa kekayaan alam dan pengetahuan lokal yang nilainya tak terhingga. Semua itu, untuk dibagikan kepada lebih banyak orang,” kata Novita.

Dengan begitu, Green Zone menjadi tempat untuk mengungkapkan kekayaan alam dan pengetahuan lokal, serta memperkuat suara masyarakat adat di tingkat global.

Sementara itu, Co-chair Young People Action Team (YPAT) UNICEF East Asia and Pacific (EAPRO) Andi Reza Zulkarnain mengungkapkan  pengalaman berharga saat bertemu dengan pemuda dari seluruh dunia, dan membawa praktik baik dari komunitas mereka.

Sesi ‘LAB of Youth Engagement and Participation’ yang diadakan oleh CAF, kata Andi, memberikan wawasan tentang bagaimana melindungi komunitas terdampak proyek tambang dengan pendekatan berbasis komunitas dan advokasi kebijakan.

“Dalam sesi ini, saya bekerja sama dengan kelompok yang berfokus pada perlindungan komunitas terdampak proyek tambang,” ujarnya.

Andi menambahkan, “Bersama-sama, kami merancang pendekatan yang melibatkan pelatihan, dukungan langsung, dan penciptaan peluang kerja. Proses ini mengajarkan saya tentang memadukan strategi berbasis komunitas dengan advokasi kebijakan.”

Selama mengikuti konferensi, Novita, Naomi, dan Reza, tidak hanya memperoleh pengetahuan baru tetapi juga mengembangkan jejaring dan perspektif yang dapat memperkaya upaya konservasi di Indonesia.

Ketiga delegasi itu menyadari bahwa orang-orang muda lokal memiliki pengetahuan lokal yang luas. Mereka menyadari kedaulatan hidup masyarakat adat dan komunitas lokalnya, dan berjuang bersama dalam ruang-ruang diskusi.

Bagi Novita Ayu Matoneng Oilsana, ia sangat terkesan dengan pengetahuan luas dan keterampilan komunikasi orang-orang muda lokal. Ia takjub dengan cara anak-anak berbicara tentang konservasi frailejon, tanaman endemik yang menjadi penjaga mata air.

“Mereka jago sekali dalam hal public speaking. Bahkan, saya mengikuti beberapa sesi yang pembicaranya adalah anak usia 7 -10 tahun,” ungkap Novita, kagum.

Selama mengikuti konferensi, Novita menyadari bahwa orang-orang muda lokal memiliki pengetahuan lokal yang luas. Mereka menyadari kedaulatan hidup masyarakat adat dan komunitas lokalnya, dan berjuang bersama dalam ruang-ruang diskusi.

Menurut Novita, potensi dan dukungan seperti yang dimiliki oleh Life of Pachamama (organisasi di Kolombia yang didirikan oleh orang muda) sangat dibutuhkan di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur.

Senada, Naomi Waisimon juga mengapresiasi kemampuan komunikasi jaringan Life of Pachamama. Pasalnya, mereka sangat pandai, tidak ragu dalam menyampaikan pendapat, dan memberikan energi positif selama kegiatan berlangsung.

“Sangat terlihat bagaimana mereka pandai menyampaikan pendapat dan memberikan energi positif dalam kegiatan,” ujarnya.

Sementara itu, Andi Reza Zulkarnain sangat terinspirasi oleh proyek-proyek lingkungan yang dilakukan oleh orang muda di Kolombia. Hal itu menunjukkan pentingnya keterlibatan lintas sektor untuk keberhasilan inisiatif keberlanjutan.

“Saya menyadari keterlibatan lintas sektor sangat penting untuk keberhasilan sebuah inisiatif, terutama yang berfokus pada keberlanjutan,” paparnya.

Ketiga delegasi ini membawa pulang wawasan dan semangat yang tidak ternilai. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang kuat, memanfaatkan pengetahuan lokal, kemampuan komunikasi, dan jejaring yang telah mereka bangun untuk mendukung upaya konservasi di Indonesia.

Kehadiran mereka di COP16 CBD menjadi bukti bahwa kolaborasi dan pertukaran pengalaman antar bangsa dapat menghasilkan solusi yang lebih baik dan inspiratif.

Insight baru

Bertemu teman baru yang merupakan orang muda telah membuat delegasi muda Indonesia banyak berkaca dan belajar. Naomi, misalnya, melihat Kolombia secara khusus, dan Amerika Latin secara umum, telah mampu menerapkan pengelolaan yang lebih terencana melalui berbagai lembaga. Karena itu, ia berharap komunitas di Indonesia, tak terkecuali di Papua, bisa mewujudkan hal yang sama.

Sementara bagi Reza, keikutsertaannya di kegiatan ini telah memperkaya wawasan, baik secara personal maupun profesional. Salah satu pengalaman paling berharga adalah kesempatan menyaksikan langsung proses negosiasi global dalam membentuk kesepakatan, terkait keanekaragaman hayati.

“Momen itu mengubah cara pandang saya tentang kompleksitas politik internasional, dimana setiap kata dalam rancangan perjanjian memiliki dampak yang sangat luas,” ujarnya.

Pengalaman ini menjadi istimewa bagi Reza, karena ia diberi kesempatan berbicara di berbagai forum dan diwawancarai oleh media lokal dan internasional, termasuk Cali Tourism Office. Mengenakan pakaian adat dalam setiap wawancara, telah menghadirkan kebanggaan tersendiri.  Karena ia tidak hanya mewakili suara anak muda, juga memperkenalkan budaya Indonesia di panggung global.

Khusus Novita, apa yang ia lihat dan dipelajari di COP16 merupakan ilmu baru. Misalnya, bagaimana acara konferensi dikemas dengan sangat menarik, termasuk area-area pameran, hingga keterlibatan semua pihak dalam mengumpulkan jenis kekayaan alam dan intelektual yang dimiliki oleh masyarakat adat.

“Ini pengalaman pertamaku menghadiri event sebesar ini, mirip seperti yang dilakukan teman-teman selama 3 tahun berturut-turut. Namanya PRF (Pesta Raya Flobamoratas), digelar bersama mitra-mitra dan komunitas lokal di NTT,” ujarnya.

Novita menambahkan, “Aku sangat yakin, konsep yang selama ini ada di kepalaku tentang PRF terjadi di Green Zone. Pesta masyarakat adat, pesta komunitas lokal, pesta kita bersama. Dari kita, oleh kita, dan untuk kita.”

124 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *