Oleh: Achmad Nur Hidayat*
Belakangan ini, masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dibuat resah oleh lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai 250 persen.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kenaikan ini merupakan langkah tepat dalam meningkatkan pendapatan daerah, atau justru menjadi preseden buruk dalam praktik kebijakan publik kita?
Di sinilah letak persoalan utama: bagaimana niat baik pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan pajak dapat berubah menjadi kegaduhan sosial akibat proses kebijakan yang serampangan dan minim sosialisasi.
Membuat kebijakan publik sejatinya mirip seperti meracik obat bagi pasien. Obat terbaik sekalipun bisa menjadi racun jika dosis dan cara pemberiannya salah.
Pemerintah daerah mungkin bermaksud memberikan “vitamin” bagi keuangan daerah lewat kenaikan PBB-P2. Namun, tanpa memperhatikan dosis (kenaikan pajak yang wajar) dan petunjuk pemakaian (sosialisasi dan komunikasi yang jelas), niat baik tersebut justru bisa menjadi racun yang menyakiti masyarakat.
Baca juga: Memastikan Statistik Selaras dengan Realitas Ekonomi
Ribuan warga Pati mengeluhkan tagihan PBB-P2 yang melonjak drastis tahun 2025 ini. Di beberapa kecamatan, pajak yang semula hanya puluhan ribu rupiah, kini melonjak menjadi ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.
Media sosial dipenuhi keluhan warga, yang merasa tak ada pemberitahuan sebelumnya atas kenaikan tajam ini.
Pemerintah Kabupaten Pati berdalih, kenaikan didasarkan pada penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah 14 tahun tidak diperbarui, serta kebutuhan meningkatkan pendapatan daerah. Namun, argumentasi ini tak serta-merta bisa diterima masyarakat.
Terlebih, dalam situasi ekonomi yang masih belum sepenuhnya pulih pascapandemi, tekanan inflasi, dan daya beli masyarakat yang stagnan. Kenaikan pajak sebesar 250 persen, angka yang sangat tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan PBB di kabupaten/kota lain di Indonesia yang umumnya di bawah 50 persen, jelas menimbulkan guncangan sosial.
Kegagalan Kebijakan Publik
Kebijakan publik yang baik selalu berangkat dari tiga pilar: evidence-based policy (berbasis data), partisipasi publik, dan komunikasi yang efektif. Sayangnya, dalam kasus kenaikan PBB-P2 di Pati, ketiganya tampak diabaikan.
Pertama, dari sisi evidence-based policy, kenaikan 250 persen memang bisa dijustifikasi bila melihat kebutuhan fiskal daerah—misalnya untuk membiayai layanan dasar atau pembangunan infrastruktur.
Namun, data BPS menunjukkan, kontribusi PBB-P2 terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Pati selama lima tahun terakhir relatif stagnan, hanya sekitar 10-12 persen dari total PAD.
Artinya, ada ruang untuk peningkatan, tapi tidak dengan lompatan drastis dalam satu waktu. Secara psikologis, lonjakan mendadak tanpa transisi memicu resistensi dan bahkan penolakan.
Kedua, dari segi partisipasi publik, proses penentuan kebijakan ini terkesan tertutup. Banyak warga yang mengaku tidak pernah diajak berdiskusi, apalagi diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi sebelum kebijakan diketok.
Baca juga: Organisasi Ekstra Legal, Relawan sebagai Hama Politik
Meski forum kepala camat sudah dilakukan dan diskusi sudah dilakukan. Namun kelihatan diskusi tersebut sesama elit yang tidak mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Padahal, dalam prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), partisipasi masyarakat adalah kunci.
Warga bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang berhak tahu, paham, dan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Ketiga, masalah utama terletak pada komunikasi publik yang lemah. Sosialisasi yang semestinya dilakukan secara masif dan terstruktur, justru terkesan asal-asalan.
Banyak warga baru mengetahui kenaikan pajak saat menerima SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) di awal tahun. Tak ada penjelasan detail mengenai alasan kenaikan, mekanisme penghitungan NJOP, ataupun rencana pemerintah untuk mengantisipasi dampak sosial ekonomi dari kebijakan ini.
Rakyat Susah, Kenapa Pajak Banyak Naik?
Seringkali, pemerintah terjebak dalam paradigma bahwa pajak hanyalah urusan angka dan administrasi. Padahal, pajak adalah jembatan kepercayaan antara negara dan rakyat.
Di sinilah letak kepekaan yang harus dimiliki setiap pembuat kebijakan. Kebijakan fiskal, khususnya yang berdampak langsung pada kantong rakyat, harus dikelola dengan hati-hati dan penuh empati.
Bayangkan seorang petani kecil di Pati yang selama bertahun-tahun membayar PBB sekitar 50 ribu rupiah per tahun. Tiba-tiba, ia harus membayar 175 ribu rupiah untuk tanah yang sama, sementara harga hasil panennya tak kunjung naik dan biaya hidup makin mahal.
Apa yang terjadi? Kepercayaan kepada pemerintah akan runtuh, dan upaya memperluas basis pajak justru terhambat oleh resistensi publik.
Pelajaran yang Didapat
Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Pertama, pemerintah daerah harus menyadari bahwa kebijakan fiskal bukan sekadar instrumen menambah pundi-pundi kas daerah, tapi juga instrumen membangun kepercayaan sosial.
Kenaikan PBB-P2 memang penting untuk menyesuaikan dengan harga pasar dan kebutuhan pembangunan, namun harus dilakukan secara bertahap dan dengan pertimbangan kemampuan ekonomi masyarakat.
Kedua, proses penentuan kebijakan harus lebih transparan dan partisipatif. Melibatkan masyarakat dalam diskusi publik, mendengarkan aspirasi, dan menjelaskan logika di balik kebijakan adalah langkah penting untuk membangun pemahaman dan dukungan.
Pemerintah daerah bisa mencontoh beberapa kota di Indonesia yang berhasil menaikkan PBB secara bertahap, dengan menyusun roadmap kenaikan pajak selama 3-5 tahun, disertai program kompensasi untuk kelompok rentan.
Ketiga, komunikasi publik harus diperkuat. Pemerintah harus proaktif menjelaskan manfaat kenaikan PBB-P2, misalnya untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Program sosialisasi harus dilakukan jauh sebelum kebijakan dijalankan, dengan melibatkan tokoh masyarakat, media, dan organisasi kemasyarakatan.
Terakhir, pemerintah harus berani mengevaluasi dan mengkaji ulang kebijakan jika terbukti menimbulkan keresahan yang luas.
Tidak ada salahnya mengoreksi langkah, menyesuaikan besaran kenaikan, atau bahkan memberikan relaksasi pajak bagi kelompok rentan. Keberanian mengakui kekeliruan dan memperbaiki kebijakan adalah ciri pemimpin yang bijak dan berpihak pada rakyat.
Niat Baik Harus Didampingi Cara Baik
Kenaikan PBB-P2 di Pati adalah contoh nyata bahwa niat baik saja tidak cukup dalam penyelenggaraan kebijakan publik.
Proses, komunikasi, dan pelibatan publik adalah kunci agar kebijakan tidak hanya tepat secara administrasi, tetapi juga adil dan dapat diterima oleh masyarakat.
Pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus belajar dari kasus ini: kebijakan publik adalah seni menyeimbangkan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyat. Kebijakan yang baik bukan hanya yang menghasilkan angka, tapi juga yang menjaga kepercayaan masyarakat.
*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta