Menara Pemantau Gajah, Belantara Foundation: Agar Manusia dan Gajah Liar Hidup Harmonis

Belantara Foundation membangun menara pantau gajah liar serta menyerahkan sumbangan peralatan mitigasi konflik manusia-gajah kepada masyarakat di Desa Jadi Mulya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada Sabtu, 25 Januari 2025. Foto: Belantara Foundation

apakabar.co.id, JAKARTA –  Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna mengungkapkan arti penting dari menara pemantauan gajah, mengingat lanskap Padang Sugihan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, merupakan salah satu  kantong persebaran gajah di Pulau Sumatra.

“Karena kelompok gajah disini memiliki jumlah populasi yang berpotensi mendukung pelestarian gajah Sumatra secara jangka panjang,” ujar Dolly kepada apakabar.co.id, Selasa (28/1).

Untuk itu, Belantara Foundation menggagas pembangunan menara pantau gajah liar dan menyerahkan sejumlah peralatan mitigasi konflik manusia-gajah kepada masyarakat di Desa Jadi Mulya, Kabupaten OKI, Sumatra Selatan pada Sabtu (25/1). Ini merupakan bagian yang dari program Living in Harmony (Kita Bisa Hidup Berdampingan), sebuah aksi kolaboratif yang bertujuan mendorong terwujudnya harmonisasi antara manusia dengan gajah liar di sebuah ekosistem yang sama.

Program konservasi gajah Sumatra di Kabupaten OKI dilakukan bersama para mitra berfokus pada tiga aspek, yakni mitigasi konflik manusia-gajah, penyadartahuan dan edukasi kepada anak-anak mengenai pelestarian gajah dan ekosistemnya, serta penanaman pakan gajah dan penggaraman tanah.

Pada aspek mitigasi konflik, masyarakat di lima desa (75 orang) telah mendapat pelatihan untuk bisa menangani konflik gajah secara mandiri sebelum petugas berwenang datang.

Lima desa yang menjadi mitra Belantara di antaranya Desa Jadi Mulya, Desa Simpang Heran, Desa Banyu Biru, Desa Sri Jaya Baru, dan Desa Suka Mulya. Saat ini telah terbentuk tiga kelompok masyarakat yang bertugas sebagai tim mitigasi konflik di Desa Jadi Mulya, Desa Simpang Heran dan Desa Banyu Biru.

Selain meningkatkan kapasitas melalui pelatihan, pembangunan infrastruktur berupa dua unit menara pantau gajah dibangun di Desa Jadi Mulya dan Desa Simpang Heran.

“Ini sarana penting dalam mitigasi konflik manusia-gajah,” ungkap Dolly juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.

Sebagai alat pendukung, Belantara Foundation juga menyumbangkan 6 unit Handy Talkie, satu unit teropong, serta 31 unit meriam karbit portabel dan 31 unit senter.

Pada aspek penyadartahuan dan pendidikan, dilibatkan para pendongeng untuk melakukan penyadartahuan dan edukasi tentang pentingnya hidup harmonis antara manusia dengan gajah Sumatra, melalui dongeng menarik yang diikuti lebih kurang 400 siswa dan 60 guru yang berasal dari 7 Sekolah Dasar (SD) yang ada di lima desa di Kabupaten OKI.

“Sebagai tindak lanjut, kami menyusun modul kurikulum muatan lokal untuk siswa SD kelas 4 sampai 6 tentang pelestarian gajah Sumatra dan habitatnya,” bebernya.

Aspek ketiga, disiapkan sedikitnya 5 tempat menggaram bagi gajah liar di beberapa koridor ekologis di lanskap Padang Sugihan. Tempat menggaram (salt licks) artifisial menjadi sangat penting bagi gajah Sumatra dalam memenuhi kebutuhan mineral yang akan menjadi nutrisi tambahan bagi gajah.

“Tempat menggaram akan mendorong gajah tetap berada di koridor, sehingga membantu mencegah gajah masuk ke pemukiman masyarakat,” jelas Dolly.

Selain itu, turut dipasang 8 unit kamera jebak di lokasi tempat penggaraman untuk merekam aktivitas gajah, termasuk menanam sereh wangi pada areal seluas 2 hektar di pinggir desa.

Tanaman sereh wangi diharapkan menjadi barrier atau penghalang untuk mencegah gajah liar masuk ke permukiman. Sereh wangi merupakan salah satu tanaman yang aromanya tidak disukai gajah.

Dalam pelaksanaannya, Belantara Foundation mendapat dukungan dari Keidanren Nature Conservation Fund (KNCF) Jepang. Belantara juga menggandeng Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa (PJHS), Rumah Sriksetra, Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Selatan, serta perusahaan pemegang konsesi kehutanan dan Pemerintah Desa Jadi Mulya.

“Kami terus mendorong dan mengajak para pihak yang lebih luas lagi, seperti pemerintah, sektor swasta, dan media, untuk bahu-membahu dan berkontribusi pada program mitigasi konflik manusia-gajah,” kata Dolly.

Ia berharap program ini bisa memperkuat program konservasi gajah yang telah dilakukan pemerintah, sehingga tercipta harmonisasi dan koeksistensi antara manusia dengan gajah di Lanskap Padang Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatra Selatan.

Di kesempatan yang sama, Polisi Hutan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Sumatra Selatan, Ruswanto, mengapresiasi program yang dijalankan Belantara Foundation bersama para mitra dalam upaya mitigasi konflik manusia-gajah di Kabupaten OKI, Sumatra Selatan.

“Menara pantau gajah serta sumbangan peralatan pendukung mitigasi konflik akan menguatkan sarana dan prasarana, serta kesiapan masyarakat desa dalam mengatasi interaksi negatif dengan gajah liar”, ujarnya.

Ruswanto mengungkapkan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi telah menunjukkan bahwa gajah Sumatra termasuk ke dalam satwa liar dilindungi. Menurut The International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species (IUCN), saat ini gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) berstatus critically endangered (kritis).

“Kami berharap program konservasi gajah ini bisa mendukung upaya pemerintah mengurangi konflik manusia-gajah yang ada di Provinsi Sumatra Selatan khususnya di Kabupaten OKI”, terang Ruswanto.

Sementara itu, Sekretaris Desa Jadi Mulya, Heryanto, menjelaskan bahwa warga Desa Jadi Mulya merupakan masyarakat transmigrasi pada tahun 1983 dan pada tahun itu belum pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan gajah. Pada saat itu, gajah berhasil digiring ke wilayah selatan lanskap oleh pemerintah melalui Operasi Ganesha.

Namun setelah kebakaran hutan pada 1991 dan 1997, konflik masyarakat dengan gajah mulai terjadi, karena gajah yang digiring ke selatan ternyata kembali. Pasca-kebakaran hutan di tahun 2015, gajah-gajah liar mulai memasuki area persawahan maupun permukiman masyarakat, terutama saat musim tanam padi. Hal itu mengakibatkan kerusakan sehingga masyarakat mengalami kerugian.

“Menara pantau gajah memudahkan tim mitigasi konflik dalam mendeteksi kehadiran gajah, saat masih jauh dari batas desa. Jadi kami bisa menghalau gajah-gajah kembali ke hutan sebelum mereka masuk ke wilayah permukiman,” katanya.

Manfaat lainnya, terkait peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam melakukan mitigasi konflik dengan gajah. Hal itu akan memungkinkan warga hidup berdampingan secara harmonis dengan gajah.

“Sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama yaitu hidup harmonis berdampingan antara masyarakat dengan gajah Sumatra dapat terwujud secara berkelanjutan,” tandasnya.

12 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *