Noel, Alarm Bahaya bagi Prabowo

Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau Noel tersangkut kasus korupsi. Foto: Antara

Oleh: Wijayanto Samirin*

Noel… Noel… Noel… alarm tanda bahaya berbunyi nyaring, memecah keheningan malam, mengejutkan seluruh negeri. Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel, aktivis 98 dan Wakil Menteri yang lantang menyuarakan anti-korupsi, malam itu muncul di berbagai media nasional dengan wajah lesu mengenakan rompi oranye.

Yang lebih mengejutkan, peristiwa menghebohkan ini terjadi hanya beberapa hari setelah Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo di depan MPR dan DPR yang disaksikan seluruh rakyat Indonesia. Dalam pidatonya, Presiden kembali menegaskan komitmen memberantas korupsi, bahkan mengancam seluruh jajarannya agar menjauhi perilaku koruptif. Ia sendiri berjanji akan memimpin upaya mengejar koruptor hingga ke Antartika.

Narasi anti-korupsi adalah tema yang paling sering muncul dari Presiden sejak pidato perdananya usai dilantik hingga berbagai orasi kampanyenya. Kata-kata itu selalu menggelegar, mengalir deras seolah datang dari alam bawah sadar—mengindikasikan tingkat keseriusan yang tinggi.

Pemerintahan Wani Piro?

Fenomena Noel menyadarkan kita bahwa pemberantasan korupsi bukanlah perkara mudah. Noel, yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat, justru memeras mereka dengan menaikkan tarif sertifikat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dari Rp275.000 menjadi Rp6 juta per sertifikat.

Alih-alih memperbaiki birokrasi, Noel justru melanjutkan praktik yang terjadi sejak 2019; bahkan ia meminta bagian dari aliran dana korupsi. Lebih ironis lagi, praktik tersebut melibatkan ASN hingga pejabat eselon II, dan dilakukan sejak bulan pertama ia menjabat. Tak heran banyak pihak meyakini posisi Wakil Menteri hanya ia jadikan batu loncatan untuk korupsi.

Baca juga: Narasi Berbahaya Ambil Alih BCA

Sayangnya, Noel tidak sendiri. Pada saat bersamaan, Kementerian Agama tengah diperiksa KPK terkait isu kuota haji. Kementerian Komunikasi dan Digital juga sedang ditelisik dalam kasus perlindungan judi online.

Faktanya, daftar kasus korupsi di kementerian dan lembaga Indonesia amatlah panjang. Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita telah menjelma menjadi “Pemerintahan Wani Piro”: values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba pragmatis dan transaksional.

Risiko Besar Bagi Prabowo

Program masif, berdampak luas, dan diwujudkan dalam waktu singkat adalah ciri khas Presiden Prabowo. Di satu sisi, karakter ini mendatangkan manfaat nyata bagi Indonesia: keputusan bergabung dengan BRICS, negosiasi dagang dengan AS yang cukup sukses, hingga kemajuan IEU-CEPA. Namun di sisi lain, gaya ini juga menghadirkan risiko besar, terutama pada program yang rumit, berbiaya tinggi, jangka panjang, serta melibatkan tim besar dengan koordinasi intensif.

Program Makan Bergizi Gratis, misalnya. Target 83 juta siswa setiap hari dengan biaya Rp335 triliun per tahun, melibatkan 30.000 dapur serta rantai pasok yang panjang, jelas sangat berisiko. Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika kelalaian operasional menimbulkan keracunan massal?

Program Kopdes Merah Putih juga sangat rentan. Bagaimana jika mayoritas pinjaman oleh 80.000 koperasi justru macet? Apakah rakyat desa tidak akan marah karena Dana Desa yang mereka nantikan diambil alih kreditur? Apakah kita siap menghadapi “krisis Kabupaten Pati” dalam skala nasional?

Baca juga: Megawati, Politik tanpa Buzzer

Demikian pula program 3 Juta Rumah. Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika masyarakat berpenghasilan rendah gagal membayar cicilan KPR bersubsidi karena daya beli turun? Apakah mereka rela rumahnya disita bank? Yakinkah perbankan kita siap menghadapi tsunami kredit macet? Apakah ekonomi kita siap jika property boom terjadi lalu meletus dan berakhir seperti krisis subprime mortgage di Amerika Serikat?

Masalah-masalah itu, kalaupun muncul, mungkin tidak terjadi pada 2025 atau 2026, melainkan di 2027 atau 2028—saat kondisi ekonomi belum tentu lebih baik, dan Indonesia memasuki tahun politik. Pertanyaannya, apakah Pemerintah dan Presiden sudah mengantisipasi?

Fokus ke “Antar Kita”, Bukan Antartika

Idealnya, program Pemerintah harus sesuai kebutuhan sekaligus kemampuan. Tiga program prioritas tersebut jelas penting dan dinantikan rakyat. Namun pertanyaannya: apakah cara kita melaksanakannya sudah sesuai kapasitas fiskal dan kemampuan birokrasi? Jika terlalu memaksakan (overstretched), rekalibrasi program adalah langkah bijak.

Satu hal yang tak boleh dilupakan: ada ribuan, bahkan puluhan ribu, “Noel” di Indonesia. Keberadaan mereka memiliki daya rusak tinggi. Program yang baik dan mahal bisa menjadi buruk dan murahan. Rencana yang mestinya meningkatkan citra dan hadir sebagai solusi, justru berbalik merusak wibawa dan menjadi lahan korupsi.

Sebelum meluncurkan program besar dan mahal, Pemerintah harus sadar: korupsi ada di mana-mana. Tidak perlu mengejar koruptor sampai ke Antartika, karena kebanyakan justru ada di “antar kita”.

Presiden Prabowo perlu melakukan bersih-bersih sejak dini. Tertangkapnya Noel harus dimaknai sebagai alarm bahaya yang wajib segera direspons, jika tidak ingin bangsa kita celaka.

*) Ekonom Universitas Paramadina

5 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *