Relevansi Membangkitkan Kembali Ekonomi Rakyat/Bumiputera

Relevansi Membangkitkan Kembali Ekonomi Rakyat/Bumiputera

Aktivitas ekonomi antara pedagang dengan pembeli di pasar tradisional. Foto: Antara

Oleh: Didin S. Damanhuri*

Advokasi terhadap substansi ekonomi rakyat dan bumiputera dalam sejarah pascakemerdekaan sesungguhnya telah dimulai ketika kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Moh. Natsir, dengan Menteri Perdagangannya Sumitro Djojohadikusumo, mengeluarkan kebijakan ekonomi yang terkenal dengan sebutan Politik Benteng.

Kebijakan ini merupakan advokasi negara untuk mengangkat nasib ekonomi rakyat (baca: pengusaha lokal) dengan memberikan lisensi bagi kegiatan ekonomi skala besar, khususnya impor berbagai kebutuhan barang konsumsi dan industri. Pertimbangannya, baik pada masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan, kegiatan tersebut hanya mampu dilakukan pelaku besar, khususnya dari kalangan pengusaha keturunan Tionghoa.

Mereka telah mengakumulasi modal, keterampilan, pengalaman, dan jaringan bisnis nasional maupun internasional sejak era awal penjajahan Belanda, yakni ketika VOC mulai membangun kota Batavia pada abad ke-16.

Secara struktural, penjajah Belanda menciptakan undang-undang yang membagi hak-hak kegiatan ekonomi dalam bentuk piramida: paling atas adalah kegiatan ekonomi skala global yang dikuasai pengusaha Eropa, di tengah kegiatan ekspor-impor serta bisnis besar wilayah Nusantara yang umumnya dikuasai pengusaha Tionghoa, dan di bawah untuk kalangan penduduk lokal, yakni sebagai konsumen dan paling jauh hanya menjadi pengusaha mikro di pedesaan.

Baca juga: Pelajaran dari Maaf Pejabat

Sebagai konsekuensinya, sejak itu bermunculan pengusaha kelas konglomerat dari keturunan Tionghoa yang bergerak di bisnis skala besar termasuk ekspor-impor. Hasil dari implementasi Politik Benteng jauh dari harapan, bahkan bisa dikatakan gagal. Bukannya muncul lapisan besar wirausahawan lokal, yang terjadi justru munculnya apa yang disebut “pengusaha aktentas,” “pengusaha konco,” dan “pengusaha Ali-Baba.”

Melalui mekanisme perkoncoan antara partai berkuasa dengan pengusaha lokal pemilik lisensi, terjadi kolusi atau bahkan penjualan lisensi tersebut kepada pengusaha Tionghoa. Karena kegagalan itu, kebijakan ini dihentikan. Sejak 1959, dengan kebijakan yang dianggap dapat mengimbangi dinamika pengusaha Tionghoa, Presiden Soekarno memilih nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang kemudian ditransformasikan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Namun, karena tidak tersedianya kelas manajer profesional dan wirausahawan tangguh sebagai pengelola, sejarah kehadiran BUMN terlalu sedikit keberhasilannya—dalam arti melahirkan wirausahawan lokal dan efisiensi BUMN—bahkan hingga kini. Situasi diperparah proses “politisasi” sehingga perusahaan pelat merah sekadar “sapi perah” birokrat dan politisi.

Pada zaman Orde Baru, dengan melimpahnya dana utang luar negeri, penanaman modal asing (PMA), dan rezeki nomplok migas, dinamika kalangan pengusaha Tionghoa semakin besar dan cepat dalam memanfaatkan kelimpahan dana. Kondisi ini didorong oleh “politik integrasi” Orba, yakni memberikan kesempatan seluas-luasnya dan memanfaatkan kelebihan para pengusaha tersebut dalam kewirausahaan, pengalaman, modal, serta jaringan usaha. Ini sebagai antitesis dari “politik isolasi” pada era 1950-an.

Contoh nyata politik integrasi ini diakui mantan Presiden Soeharto, ketika Liem Sioe Liong (bersama adik tirinya, Probosutedjo)—sebagai konglomerat terbesar Orba—dipilih sebagai pemegang lisensi pengimpor cengkih dari Zanzibar. Dari lisensi ini, Liem dipercaya menjadi pengimpor tunggal gandum dan monopoli pabrik pengolahannya Bogasari. Dari sinilah laju ekspansi Liem ke berbagai bidang usaha dimulai—monopoli, oligopoli, integrasi vertikal-horisontal, hingga konglomerasi menggurita.

Baca juga: Satu Arah: Fiskal-Moneter

Sebelum krisis, asetnya tercatat Rp56 triliun (kurs sekitar Rp2.000 per dolar, setara kini sekitar Rp500 triliun) dengan sekitar 640 perusahaan di dalam dan luar negeri. Selama Orba, kebijakan ekonomi, sadar atau tidak, menciptakan konsentrasi dan konglomerasi kepada sekitar 200 pelaku konglomerat yang sebelum krisis menguasai sekitar 76 persen aset atau sekitar 60 persen omset ekonomi nasional.

Prakteknya terjadi trade-off: sebagian besar sumber daya nasional, baik sumber finansial (anggaran, kredit perbankan, proyek PMA, dana utang luar negeri), maupun sumber daya lainnya (manajemen, teknologi, lahan, SDM) dialokasikan ke pelaku big business dan proyek raksasa.

Sementara untuk pelaku usaha lainnya—sekitar 99,8 persen unit usaha yang sering dikategorikan sebagai ekonomi rakyat (UMKM dan koperasi)—terjadi misalokasi dan dislokasi sumber daya nasional. Kredit perbankan untuk ekonomi rakyat selama Orba rata-rata hanya 10-20 persen, bahkan sektor pertanian hanya sekitar 5-8 persen.

Marjinalisasi Ekonomi Rakyat

Dengan kondisi ekonomi-politik tersebut, proses marjinalisasi ekonomi rakyat terasa sangat sistematis. Transformasi ekonomi bangsa dari agraris ke industrial berlangsung bersamaan dengan penciptaan hambatan struktural serius bagi pelaku ekonomi rakyat untuk menikmati kesempatan berusaha dan manfaat industrialisasi.

Hal ini sekaligus berarti telah terjadi pengalokasian, dengan campur tangan negara, terhadap proses konglomerasi tanpa preseden dalam sejarah ekonomi Indonesia. Ketimpangan yang sangat tajam, baik antargolongan usaha, pendapatan, antarsektor maupun antardaerah, menjadi sangat nyata—200 konglomerat itu semuanya berbasis di Jakarta. Ditambah lagi, kebocoran pembangunan rata-rata 30-50 persen dari seluruh dana pembangunan nasional akibat KKN yang merugikan dunia usaha, terutama ekonomi rakyat.

Dengan analisis historis-struktural seperti ini, alangkah naif jika kini ada ekonom yang mengkritik kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat—meski kebijakan itu sendiri masih sangat parsial dan umumnya baru terfokus pada alokasi kredit murah. Mereka menyimpulkan bahwa pengembangan ekonomi rakyat akan berlangsung adil dan otomatis tanpa “kebijakan pemihakan”. Menurut para pengkritik ini, tidak perlu ada kebijakan khusus bernama ekonomi rakyat; cukup dengan mekanisme pasar.

Kritik tersebut tampak reaktif, walau memang fakta menjelang setiap Pemilu sering terjadi politisasi ekonomi rakyat dan kebocoran dana untuk kepentingan politik. Namun, tak bijak jika esensi pemihakan dan pemberdayaan ekonomi rakyat lantas digebyah uyah untuk dihapus dalam kebijakan ekonomi kabinet mendatang. Jika ada “tikus-tikus” perusak, bukan gudangnya yang harus dibakar. Maka relevansi platform “ekonomi untuk rakyat” dari Presiden Prabowo pun terasa kuat.

Baca juga: Marak Siswa Keracunan, MBG Perlu Redesain Berbasis Komunitas

Bicara mekanisme pasar, justru ekonomi rakyatlah yang terbiasa bermain dalam kompetisi pasar bebas. Sebaliknya, pengusaha konglomerat-oligarki sangat diproteksi dan disubsidi, bahkan kerap terlibat dalam mekanisme “kongkalikong” (lihat HGU lahan sawit dan tambang di era reformasi). Sementara ekonomi rakyat yang akrab dengan kompetisi keras dan bebas—namun masih di pasar skala kecil dan tradisional—kesulitan menembus pasar menengah, besar, dan modern yang sudah teroligopolisasi konglomerat-oligarki.

Agar ekonomi rakyat mampu masuk pasar menengah-besar dan modern, harus ada kebijakan afirmatif (affirmative policy): menegakkan undang-undang antimonopoli, anti-KKN, reformasi birokrasi, serta demokratisasi politik, penciptaan good governance, dan otonomi daerah seluas-luasnya, dengan transisi 5–10 tahun.

Sebaliknya, akan sulit tercapai jika kebijakan ekonomi rakyat hanya mengandalkan intervensi birokrasi dalam alokasi kredit program atau investasi produktif—misal, penempatan dana Menkeu Purbaya dari BI ke Bank BUMN/Himbara sebesar Rp200 triliun melalui mekanisme pasar afirmatif (untuk UMKM dan sektor padat karya seperti pariwisata).

Terlebih jika program besar ini dikerdilkan hanya untuk mendukung program populis seperti MBG dan Kopdes MP tanpa seleksi. Maka tak heran program raksasa UMKM bisa terancam gagal dan bernasib seperti Politik Benteng tahun 1950-an.

Jika tidak cerdas, program penempatan dana BI Rp200 triliun di bank Himbara bisa berjalan, tetapi akhirnya hanya dinikmati oleh “oligarki pemburu rente.” Semoga tidak.

*) Ekonom Senior dan Pendiri INDEF, Guru Besar IPB dan Universitas Paramadina, Ketua Dewan Pakar Asprindo

24 kali dilihat, 24 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *