Sistem Pangan Global Berkelanjutan, Laporan Deloitte: Atasi Kekurangan Gizi bagi 300 Juta Jiwa

Ilustrasi - Buruh tani mengangkut padi saat panen raya di area persawahan Desa Mangunharjo, Ngawi, Jawa Timur, Jumat (8/3/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Laporan terbaru Deloitte –jaringan firma global– berjudul Turning Point: Feeding the World Sustainably digagas untuk mengukur potensi manfaat sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari transformasi sistem produksi pangan global yang berkelanjutan.

Laporan yang dirilis pada momen COP29 itu, memperlihatkan bahwa sebanyak 730 juta jiwa —hampir 10% dari populasi dunia— akan terdampak kekurangan gizi. Tantangan global itu meliputi tiga aspek, yakni mengatasi kebutuhan populasi yang terus berkembang, membantu lebih banyak orang keluar dari siklus kekurangan gizi, serta mendekarbonisasi sektor pertanian dan sistem pangan secara bersamaan.

Deloitte Global Sustainability Business Leader Jennifer Steinmann dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (28/11) menuturkan pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan dunia secara berkelanjutan pada tahun 2070. Untuk itu dibutuhkan upaya membatasi pemanasan global di bawah 2°C. Dan di saat bersamaan, perlu produksi 40% lebih banyak agar memenuhi kebutuhan pangan global yang diprediksi mencapai 10 miliar jiwa.

Laporan secara spesifik menunjukkan transformasi sistem pangan global yang komprehensif dan berkelanjutan akan menghasilkan pemenuhan kebutuhan gizi bagi minimum 1,6 miliar jiwa pada tahun 2070. Pemodelan itu menunjukkan bahwa satu dari 5 kalori ekstra yang diproduksi akan disalurkan ke wilayah-wilayah terdampak kelaparan di dunia, sehingga bisa membantu 300 juta jiwa dari kekurangan gizi.

Selama periode yang sama, emisi dari sistem pangan global diperkirakan akan menurun sebanyak dua pertiga, sehingga mendukung upaya global menuju net zero. Pencapaian itu, tutur Steinmann, berpotensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) global sebesar USD121 triliun dalam periode yang sama.

Penelitian Deloitte terkait sistem pangan (food system), ungkap Steinmann, menekankan risiko bahwa tanpa intervensi, perubahan iklim yang tidak terkendali akan merugikan perekonomian global sebesar USD190 triliun antara tahun 2025 – 2070.

Akibat kelambanan dalam bertindak, kerusakan yang terjadi akibat krisis iklim bisa mengurangi nilai industri produksi pangan primer (seperti pertanian, peternakan, produk susu, dan perikanan) sebesar USD13 triliun dalam bentuk nilai saat ini.

Dampak itu akan berimbas pada sistem pangan yang lebih luas, dimana sektor manufaktur pangan dan jasa pangan diperkirakan mengalami penurunan nilai sebesar USD12 triliun selama periode tersebut.

Dengan demikian, ujar Steinmann, COP29 menjadi momentum penting bagi para pemimpin dunia untuk berkumpul dan menimbang kerugian yang signifikan akibat tidak adanya tindakan atas perubahan iklim.

“Karena hal itu akan memberikan efek yang luar biasa bagi kesejahteraan manusia dan ekonomi global,” terangnya.

Adapun investasi dan dukungan terhadap sistem pangan berkelanjutan berpotensi mengentaskan masalah kekurangan gizi bagi ratusan juta jiwa, melestarikan sumber daya alam, dan memitigasi perubahan iklim.

“Ini peluang penting tidak hanya membatasi dampak buruk perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian, tapi juga mendorong ekonomi global di seluruh industri secara bersamaan,” jelasnya.

Negara berpenghasilan rendah
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mencatat produksi pangan global secara historis telah melampaui peningkatan permintaan. Namun dekade terakhir menunjukkan perubahan yang mengkhawatirkan, di mana tingkat kekurangan gizi di kawasan berpendapatan rendah meningkat dari 22% menjadi 28% disertai harga pangan naik hampir 20%, seiring pertambahan populasi global.

Saat ini, data FAO menunjukkan sebanyak 730 juta jiwa di seluruh dunia kekurangan gizi, sementara Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan 80 juta jiwa lainnya berisiko kelaparan akibat pemanasan global. Untuk itu, membatasi pemanasan global menjadi sangat penting demi memastikan ketersediaan pangan yang berkelanjutan untuk jangka panjang.

Terkait hal itu, analisis Deloitte menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pangan berkelanjutan akan meningkatkan produksi pangan global sebesar 9%. Angka itu setara peningkatan output sistem pangan sebesar USD22 triliun pada tahun 2070.

Deloitte Global Future of Food Leader Randy Jagt menjelaskan peningkatan produksi pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan populasi global yang diproyeksikan mencapai 10 miliar jiwa dan menurunkan harga pangan sebesar 16%. Dengan begitu, pola makan yang lebih sehat menjadi lebih terjangkau dan mudah diakses.

Negara-negara berpenghasilan rendah akan merasakan keuntungan terbesar, termasuk peningkatan PDB sebesar 12% dan lonjakan konsumsi pangan per kapita yang signifikan.

“Dengan rata-rata peningkatan konsumsi sebesar 626 kalori per orang per hari pada tahun 2070,” ungkap Jagt yang merupakan salah satu penulis laporan ini.

Selain itu, konsentrasi kalori tambahan yang diproduksi secara global diperkirakan naik, seiring waktu di wilayah-wilayah dengan populasi besar yang menghadapi kelaparan, seperti SubSahara Afrika, Asia Selatan dan Tenggara, serta Amerika Selatan.

Secara keseluruhan, kata Jagt, ekonomi yang rentan akan memperoleh manfaat dari upaya pengurangan emisi melalui penyesuaian struktural yang mengintegrasikan praktik pertanian inovatif dan cerdas iklim. Juga menghindari potensi kerusakan akibat perubahan iklim.

“Dunia sedang menghadapi polikrisis sistem pangan global yang terus meningkat, dikarenakan perpaduan antara perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, tekanan terhadap keterbatasan sumber daya, dan berkurangnya hasil panen secara signifikan,” terang Jagt.

Hal itu menghambat kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia secara berkelanjutan. Untuk itu, transformasi sistem pangan global yang berfokus pada keberlanjutan diharapkan mampu mengatasi tantangan tersebut. Sehingga memberi manfaat signifikan bagi masyarakat terdampak kerawanan pangan dan perubahan iklim.

Komitmen untuk masa depan berkelanjutan dan adil
Peneliti Deloitte asal Australia Dr. Pradeep Philip menjelaskan pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan dunia secara berkelanjutan, memerlukan transformasi pada tingkat sistem. Keberhasilan strategi harus mampu mengatasi ketimpangan dalam konsumsi pangan, mendorong produksi berkelanjutan yang mampu bertahan dalam tekanan lingkungan, dan menyusun kerangka kerja kebijakan untuk mencapai net zero.

“Metode yang kita gunakan untuk meningkatkan produksi pangan, selama ini, sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Berpegang teguh pada status quo akan memperburuk kondisi kelaparan dan menaikkan harga pangan. Dan ini bukanlah pilihan,” ujar Philip, salah satu penulis laporan ini.

Menurut Philip ada lima solusi yang ditawarkan agar memenuhi kebutuhan pangan dari populasi yang terus meningkat secara berkelanjutan. Pertama, mempercepat inovasi, teknologi, dan peningkatan produktivitas pada tingkat yang lebih pesat dibandingkan dengan apa yang telah dicapai di masa lalu.

Kedua, berinvestasi dalam melindungi, memulihkan, dan memperkuat aset alam, seperti lahan, tanah, air, vegetasi, satwa liar, dan layanan ekosistem sebagai sarana dalam meningkatkan produksi pangan dan ketahanan pangan.

“Ketiga, mengurangi emisi global sehingga membatasi perubahan iklim serta kerusakan yang ditimbulkannya,” paparnya.

Keempat, mendukung dan mendorong pilihan dan pola makan berbasis konsumen yang lebih berkelanjutan.

Terakhir, meningkatkan sirkularitas untuk membantu mengatasi dan membatasi limbah makanan, menggunakan produk sampingan dari produksi makanan, mencegah habisnya sumber daya penting, menjaga agar bahan-bahan tetap beredar, dan meningkatkan efisiensi.

Memenuhi kebutuhan pangan dunia secara berkelanjutan, terang Philip, membutuhkan perubahan besar dan mendasar.

“Di setiap aspek ekonomi global, kita harus menyelaraskan tujuan dan sasaran dalam mengubah sistem pangan, baik melalui investasi penelitian dan pengembangan pertanian, perlindungan tanah, air, dan ekosistem, atau upaya dekarbonisasi yang berkelanjutan,” tandasnya.

516 kali dilihat, 10 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *