Spiritualisme Kemerdekaan

Made Saihu, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta. Foto: Dok. Pribadi

Oleh: Made Saihu*

Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebuah pertanyaan klasik yang setiap tahun menjelang 17 Agutus selalu diutarakan oleh para akademisi, para tokoh agama, tokoh politik, bahkan sampai abang-abang dan emak-emak di pasar.

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah tanpa alasan, karena bagaimana mungkin bisa dikatakan merdeka, jika disaat yang sama banyak diantara kita masih diperbudak oleh hawa nafsu keserakahan, kelicikan, dendam? bagaimana mungkin dikatakan merdeka disaat yang sama kita masih bergulat oleh kepentingan-kepentingan untuk “kekenyangan”perut kita sendiri? Boleh jadi ini disebabkan oleh pemahaman kemerdekaan kita yang masih kurang tepat tentang apa sih itu merdeka.

Kita sering memaknai kemerdekaan hanya sebatas terbebas dari penjajahan fisik atau dominasi kekuasaan asing. Namun, kemerdekaan sejati sebenarnya bukan hanya kebebasan politik, tetapi juga kebebasan spiritual (al-hurriyyah al-haqiqiyyah), yaitu terbebasnya hati dari penghambaan kepada selain Allah. Bukankan Tuhan telah mengingatkan:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Ayat ini menegaskan bahwa puncak kemerdekaan manusia adalah ketika ia dapat menjalani hidup sesuai tujuan penciptaannya, tanpa terbelenggu oleh hawa nafsu dan ketergantungan pada makhluk. Kita seharusnya sudah mulai berfikir dan memahami bahwa kemerdekaan itu sebagai pembebasan hati dari segala sesuatu yang memutuskan hubungan kita dengan Tuhan.

Baca juga: Megawati, Politik tanpa Buzzer

Begitu pentingnya hal ini, Ibn ‘Athaillah, berpesan bahwa “Engkau baru dapat dikatakan merdeka dari segala sesuatu jika engkau tidak diperbudak oleh apa pun selain Allah.” Makna ini selaras dengan sabda Nabi ﷺ:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham.” (HR. Bukhari)

Pesan nabi ini menggambarkan bahwa perbudakan batin bisa terjadi ketika kita terikat pada harta, jabatan, atau ambisi duniawi sehingga menghalalkan segala cara.

Memang semua ini penting, tetapi jangan sampai yang kita cita-citakan membuatkan kita tergiring dan terbimbing oleh hawa nafsu yang melenakan dan membuat kita diperbudaknya olehnya sehingga menuruti semua keinginannya bahkan sampai menghalalkan segala cara. Jika itu terjadi, maka Tuhan yang kita sembah bukan Allah Swt, tapi setan yang menjadi masinis lokomotif hawa nafsu. Jika demikian apakah kita sudah merdeka?

Ada tiga langkah yang dapat kita lakukan untuk meraih kemerdekaan sejati, yaitu takhalli (mengosongkan diri dari sifat tercela seperti kesombongan, keserakahan, dan dendam), tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, dan zuhud), dan tajalli (tersingkapnya kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas kehidupan).

Pada titik ini, kita merdeka dari ketakutan selain kepada Allah, dan merdeka dari harapan selain kepada-Nya yang dalam konteks berbangsa, pemahaman ini memberikan pesan moral yang mendalam, bahwa kemerdekaan politik harus disertai dengan kemerdekaan spiritual. Sebab, masyarakat yang bebas secara lahiriah tetapi terbelenggu oleh korupsi, materialisme, dan kebencian, sebenarnya belum merdeka.

Baca juga: Kritik di Balik Kenaikan PBB-P2 di Pati 250 Persen

Dalam konteks berbangsa, kemerdekaan politik adalah hasil perjuangan kolektif untuk terbebas dari penjajahan eksternal. Namun, ranah spiritual menegaskan bahwa kemerdekaan sejati baru terwujud bila kemerdekaan lahiriah disertai kemerdekaan batiniah. Karena negeri yang bebas secara politik tetapi masyarakatnya terjerat korupsi, permusuhan, dan keserakahan, pada hakikatnya belum merdeka.

Sebaliknya, masyarakat yang merdeka secara spiritual akan menempatkan nilai keadilan, kasih sayang, dan amanah sebagai pilar kehidupan bernegara. Itu sebabnya kemerdekaan yang benar adalah kebebasan untuk hanya menjadi hamba Allah, bukan hamba hawa nafsu, materi, atau kekuasaan.

Kemerdekaan seperti ini menuntut perjuangan batin yang berkesinambungan melalui mujahadah, sehingga kemerdekaan politik yang telah diraih menjadi bermakna dan berkelanjutan. “Aku merdeka karena aku hanya milik-Nya, dan tidak ada yang dapat memilikkiku selain Dia.” Begitulah ungkapan dari Rabiah al-‘Adawiyah.

Maka, kemerdekaan sejati adalah perjalanan menuju Allah, di mana hati terbebas dari segala selain-Nya. Inilah puncak kebebasan yang menjadi dambaan para penegak kebenaran.

*) Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *