Kisah Bidan Theresia Perangi Stunting di Pelosok NTT

Bidan Theresia Dwiaudina saat melakukan pendampingan kesehatan kepada para perempuan di Desa Uzuzozo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Foto: @Instagram Theresia Dwiaudina

apakabar.co.id, JAKARTA – Tak seperti kebanyakan anak muda lainnya yang menempuh pendidikan tinggi kota, lalu melanjutkan hidup dengan bekerja di kota. Theresia Dwiaudina lebih memilih kembali ke kampung halaman pada 2017, setelah dinyatakan menjalani wisuda sebagai seorang bidan muda di sebuah universitas di Surabaya pada 2016 silam.

Panggilan hati menjadi alasan utama Theresia kembali ke kampung halamannya di Desa Kekandere, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Gayung bersambut, Kepala Desa Uzuzozo memintanya secara voulenter menjadi kader kesehatan di desanya. Desa Uzuzozo bertetanggaan dengan Desa Kekandere yang merupakan kampung halaman Theresia.

“Terlebih saat awal-awal ke sana ada belasan kasus stunting yang dialami warga Desa Uzuzozo,” katanya kepada apakabar.co.id, Kamis (7/11).

Baca juga: PT JSN Serahkan Bantuan Penanganan Stunting di Karanganyar

Menjadi kader kesehatan di desa tersebut tak mudah. Theresia seringkali harus menyeberangi sungai dan melewati perbukitan untuk menuju ke desa tersebut. Theresia bertugas di bawah tanggung jawab langsung kepala desa. Bukan langsung di bawah rumah sakit atau dinas kesehatan. Bantuan pendanaan operasional pun kadang diperolehnya setiap per enam bulan sekali. Pernah juga per setahun sekali.

Terlebih pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) desa yang disediakan terletak di tengah hujan. Tak ada pemukiman warga di sekitarnya. Pun fasilitas kesehatan yang tersedia pun sangat terbatas.

Ia kemudian terpaksa menggunakan peralatan kesehatan yang dipakainya saat praktik kuliah di kampusnya. Sesekali, untuk peralatan yang penggunaannya penting ia meminjam di puskesmas kecamatan. Lalu digunakannya untuk berkeliling dari rumah ke rumah warga.

Baca juga: Legislator Kalsel Hj Mariana Dorong Pemerintah Serius Tangani Stunting

Kasus stunting di Desa Uzuzozo, kata Theresia, disebabkan pola hidup masyarakat. Khususnya mengenai ketersediaan jamban di setiap rumah warga. Dari total 204 kepala keluarga (KK), hanya sebanyak 15 KK saja yang memiliki jamban di rumahnya.

“Selain itu, warga di sana juga terbiasa proses persalinan menggunakan mama-mama dukun yang masih dilakukan secara tradisional,” ungkapnya.

Theresia mengakui tak mudah mengubah kebiasaan masyarakat secara instan. Demi menarik perhatian masyarakat, ia mensiasati dengan mendatangi rumah-rumah warga untuk melakukan pemeriksaan kehamilan dan kesehatan lainnya.

“Pertama yang kita lakukan pendekatan secara pribadi biar kayak program yang masuk bisa diterima dengan baik,” katanya.

Dalam proses pendampingan kesehatan tersebut, Theresia tak jarang juga melayani proses persalinan yang dilakukannya di pinggir jalan dan di tepi sungai. Penyebab utamanya karena kondisi geografis dan aksesibilitas yang tidak mudah.

Tak Menghardik Kearifan Lokal

Aktivitas persalinan warga yang dikerjakan Theresia ini kemudian terdengar oleh mama-mama dukun. Mereka adalah perempuan-perempuan sepuh yang selama ini dipercaya warga mampu membantu proses persalinan.

“Beberapa dari mereka merasa terancam pekerjaannya saya ambil alih.” ungkapnya kepada apakabar.co.id.

Meski sejak awal dicurigai mama-mama dukun, Theresia lantas tak menjauhi mereka. Dalam beberapa kesempatan, ia justru mengajak berkolaborasi para mama dukun dalam proses persalinan warga.

Theresia bertugas langsung dalam proses persalinan, sampai proses penanganan setelah persalinan seperti perawatan kepada ibu-ibu. Sedangkan mama dukun kebagian tugas untuk memandikan bayi yang masih merah tersebut sampai membantu menggendongkan hingga bayi tersebut tertidur.

Adapun saat proses pemeriksaan kepada ibu-ibu hamil, Theresia juga menyarankan kepada mama dukun agar tidak memijit bagian perut. Aktivitas tersebut dinilai dapat membahayakan bayi di dalam kandungan. Efek sampingnya bisa mengalami pendarahan hingga bayi dapat terlilit tali pusar.

Baca juga: Misi Langit Pegadaian Banjarmasin Perangi Stunting

Bahkan, kadang kala mama dukun meminta izin Theresia setiap ingin melakukan sesuatu kepada ibu hamil atau saat proses bersalin. Sesekali, terkadang Theresia juga mengobati mama dukun yang sedang mengalami sakit. Pendekatan kultural yang dilakukannya tersebut membuat hubungannya dengan mama dukun semakin membaik.

“Pada prinsipnya saya ingin menyatukan teori yang saya miliki dengan kepercayaan yang mereka (mama dukun) punya, tanpa menghardik mereka,” ujarnya.

Kepercayaan pada kearifan lokal juga terjadi kepada warga. Sebagaimana usai seorang anak menjalani imunisasi akan mengalami demam dua sampai tiga hari. Kekhawatiran warga kepada anaknya usai imunisasi juga sering terjadi dan meninggalkan syarat kepada Theresia usai memberikan suntikan imunisasi.

Orangtua sang anak meminta Theresia agar memberikan jarum bekas suntikan kepada anaknya. Jarum tersebut nantinya akan ditancapkan kepada batang pohon berair seperti pohon pisang. Warga berkeyakinan dengan menancapkan jarum bekas suntikan imunisasi tersebut akan membantu mendinginkan demam yang didera sang anak.

“Tidak apa-apa kerja dua kali yang penting misi program saya diterima warga,” ujarnya.

Kesadaran Sehat Meningkat

Berdasarkan pengamatan Theresia, kesadaran kesehatan masyarakat Desa Uzuzozo terus meningkat. Pencegahan stunting melalui pemeriksaan terus digencarkan, warga mulai berani melakukan keluarga berencana, anak-anak yang diimunisasi mulai rutin dilakukan, larangan merokok digencarkan, hingga program jambanisasi mulai semakin diimplementasikan.

Termasuk saat ini, imbuh Theresia, di Desa Uzuzozo sudah terdapat tambahan dua tenaga kesehatan yakni satu perawat dan satu bidan yang juga dipekerjakan secara voulenter. Kedua tenaga kesehatan tersebut terus melanjutkan program kesehatan yang sebelumnya sudah diinisiasi oleh Theresia.

“Justru saya sejak awal 2024 mulai melanjutkan studi di bidang kesehatan,” katanya.

Kesadaran Theresia untuk melanjutkan pendidikan tak terbendung. Ia bercita-cita, suatu saat ia dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi. Tujuannya, berkaca dengan kondisi di Desa Uzuzozo, ia ingin memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat secara lebih luas lagi.

“Apalagi kebijakan pemerintah jangan berpatokan pada kehidupan masyarakat di kota, melainkan juga perlu memerhatikan kondisi masyarakat di desa,” pungkasnya.

20 kali dilihat, 2 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *