Beda Perhitungan Bappenas dan Kemendikbudristek, JPPI: Pemerintah Ingin Lari dari Kewajiban Konstitusional

Amich Alhumami Deputi Bidang Pembangunan Manusia Kementerian PPN/Bappenas memberikan keterangan pada Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kamis (01/08) di Ruang Sidang MK. Foto: Humass/Ifa.

apakabar.co.id, JAKARTA – Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami mengungkapkan kinerja pembangunan pendidikan, partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sudah mencapai kategori Tuntas Paripurna untuk SD/MI/Sederajat dengan APK mencapai 105,62%. Adapun Tuntas Utama untuk SMP/MTs/Sederajat, APK sebesar 92,51%.

Hal itu diutarakan Amich saat memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kamis (01/08)

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI) Ubaid Matraji menilai adanya kontradiksi dari Angka Partisipasi Kasar (APK) yang dipaparkan Bappenas. Dari data tersebut, seakan-akan semua anak sudah sempurna bisa sekolah. Bahkan, angkanya ada yang melampaui 100 persen.

“Mestinya data harus disajikan secara fair dan ditampilkan semua. Mulai dari Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan juga Anak Tidak Sekolah (ATS),” ujar Ubaid, Jumat (2/8).

Ubaid menambahkan, jika semua data tersebut disajikan, maka akan terlihat adanya jutaan anak-anak Indonesia yang tidak sekolah.

“Maka, istilah tuntas paripurna dan tuntas utama ini terkesan hanya untuk mengelabui masalah. Padahal, kenyataannya masih belum tuntas dan masih banyak anak tidak bisa sekolah,” terangnya.

Beda perhitungan

Di persidangan, Amich Alhumami menyebut biaya siswa di sekolah swasta mencapai belasan kali lipat, lebih besar dibandingkan biaya sekolah siswa negeri. Untuk standar pelayanan minimal di sekolah negeri, per siswa dialokasikan Rp24,9 juta, sementara sekolah swasta bisa mencapai Rp200 juta per siswa.

Perhitungan itu, kata Ubaid, berbeda dari versi Kemendikbudristek. Pada persidangan sebelumnya, Selasa (23/7), Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Vivi Andriani di hadapan majelis hakim menjelaskan, pemerintah hanya butuh dana tambahan sebesar Rp418 Triliun untuk bisa menggratiskan siswa SD-SMP negeri dan swasta.

“Perbedaan angkanya jauh sekali. Kemendikbudristek bilang Rp418 Triliun sudah bisa gratiskan semua, sementara versi Bappenas uang Rp200 juta baru bisa biayai satu anak di sekolah swasta,” kata Ubaid.

Bappenas dan Kemendikbudristek terlihat tidak punya standar yang jelas dan panduan yang sama tentang cara menghitung biaya pendidikan. “Pantas saja kewajiban konstitusional soal sekolah tanpa dipungut biaya hingga kini masih belum bisa terpenuhi,” ujar Ubaid.

Sementara perhitungan versi JPPI, menurut Ubaid, lebih jelas argumentasinya. Basis penghitungannya adalah biaya uang pangkal, SPP, dan juga biaya kegiatan di sekolah swasta.

Besaran komponen itu di sekolah swasta sudah diperhitungkan berdasarkan dua kategori utama dalam pembiayaan sekolah, yakni biaya investasi dan biaya operasional (personalia dan non-personalia). Dari perhitungan tersebut, ditemukan angka Rp84 triliun.

“Perhitungan versi pemerintah yang beda-beda, dan memunculkan angka yang ratusan triliun ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin lari dari kewajiban konstitusional, dan mendramatisir kebutuhan terlalu besar, seakan-akan tidak mungkin dilakukan,” tegas Ubaid.

Anggaran cukup
Di persidangan, hakim ingin memastikan, apakah jika gugatan dikabulkan, negara sanggup melaksanakan pendidikan bebas biaya dan seperti apa postur anggarannya.

Perbedaan besaran biaya pendidikan dipertanyaan, karena dasar Bappenas dalam menghitung biaya pendidikan yang mencapai Rp200 juta per siswa tidak jelas. Sementara versi Kemendikbudristek menyebut dana tambahan Rp418 trilliun, didasarkan pada pemenuhan kebutuhan, mulai dari biaya sarana dan prasarana, rehabilitasi, peralatan, laboratorium dan perpustakaan, hingga penambahan sekolah dan ruang kelas baru.

“Jika mengikuti perhitungan Kemendikbudristek, maka tambahan dana Rp418 triliun itu akan digunakan untuk menampung semua anak Indonesia di sekolah negeri,” ujar Ubaid.

Lalu seperti apa nasib sekolah swasta? Menurut Ubaid, hal itu menyebabkan banyak sekolah swasta akan  gulung tikar.

“Jika diterapkan, pasti mendapat perlawanan dari sekolah-sekolah swasta. Apalagi keberadaan sekolah swasta ini ada lebih dahulu daripada sekolah negeri. Pasti akan lebih rumit dan problematik,” jelasnya.

Sementara terkait tambahan dana sebesar Rp418 triliun akan memunculkan pertanyaan lanjutan, yakni sumber pendanaannya dari mana.

“Bangun sekolah negeri baru dan penambahan ruang kelas baru itu butuh berapa tahun lagi untuk bisa menampung semua anak di sekolah negeri? Pasti butuh waktu yang tidak singkat,” kata Ubaid.

Karena itu, jaminan sekolah bebas biaya hanya bisa terlaksana jika pemerintah melibatkan sekolah swasta dalam skema  pembiayaan. Kebijakan pemberian dana BOS untuk sekolah swasta perlu dilanjutkan. Pasalnya, dana tersebut bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan operasional sekolah swasta.

“Sementara untuk menutupi biaya investasi dan personalia, maka digunakanlah dana tambahan Rp84 triliun ini,” terang Ubaid.

Dengan perhitungan seperti itu, anak Indonesia dipastikan bisa sekolah tanpa dipungut biaya dari SD sampai SMA.

“Sementara kebutuhan tambahan dana Rp84 triliun itu sangat mungkin dieksekusi dengan melakukan realokasi anggaran 20% dari APBN sesuai dengan skala prioritas,” pungkas Ubaid.

282 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *