apakabar.co.id, Jakarta – Menanggapi peningkatan kasus pidana di sektor jasa keuangan belakangan ini, Infobank TV menyelenggarakan talkshow yang bertajuk “Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan” pada Rabu (24/7).
Diskusi ini dipandu oleh TB Rully Ferdian (Direktur Infobank Institute) dengan menghadirkan berbagai pakar, yaitu Denny Indrayana (Guru Besar Hukum Tata Negara), Kapler Marpaung (Praktisi Asuransi), Eko B. Supriyanto (Pemimpin Redaksi Infobank Media Group), dan Budi Frensidy (Pengamat Pasar Modal).
Salah satu kasus yang tengah hangat diperbincangkan publik ialah terkait kasus Bos Grup Kresna, Michael Steven (MS) yang tersangka kasus gagal bayar di PT Kresna Sekuritas dengan nilai kerugian sekitar Rp300 miliar.
Di luar batas kewajaran, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi buronan polisi, MS masih dapat memenangkan gugatan terhadap OJK dalam tiga kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Berdasarkan analisis Infobank yang disampaikan Eko B. Supriyanto, modus Grup Kresna identik dengan kasus Jiwasraya, yakni dengan menghimpun dana masyarakat dari produk asuransi Kresna Life lalu diinvestasikan ke saham-saham emiten yang terafiliasi, di antaranya PT Kresna Sekuritas.
Hal ini yang menyebabkan Kresna Life gagal membayar klaim-klaim pemegang polis. Peliknya, pengadilan tingkat satu dan banding tidak menangkap gambaran utuh mengenai problem di sektor jasa keuangan yang kian merugikan publik.
“OJK tidak ujug-ujug menjatuhkan sanksi pencabutan izin usaha kepada Kresna Life, tetapi telah melalui proses pembinaan yang panjang sejak tahun 2020. Akan tetapi bila pengadilan membatalkan pencabutan izin ini, akan menjadi preseden buruk, seburuk-buruknya preseden,” pungkas Eko.
Dari sisi hukum terkait dengan status MS sebagai buron, menurut Denny, pelaku kejahatan yang “melarikan diri” semestinya diberikan pengetatan dalam mengajukan upaya hukum.
Jika pengadilan tidak berani mengambil sikap demikian, maka buron dengan bebas lari dari tanggung jawabnya terhadap proses penegakan hukum.
“Dalam kajian ilmu hukum yang telah diperbincangkan secara global, dikenal doktrin _fugitive disentitlement_, yaitu konsep untuk membatasi hak “penjahat” dalam melakukan pembelaan hukum pada situasi tertentu.
Bila mencermati ketentuan domestik, Mahkamah Agung telah menetapkan sejumlah surat edaran yang mengandung pembatasan hak bagi buronan, misalnya larangan bagi DPO untuk mengajukan upaya praperadilan dalam SEMA 1/2018”, ungkap _Senior Partner_ INTEGRITY _Law Firm_ ini.
Dari kacamata bisnis perasuransian, Kapler Marpaung menerangkan bahwa lembaga asuransi sebenarnya menawarkan produk penitipan dana dan kepercayaan bagi masyarakat.
Sehingga apabila ditemukan fraud atau pemalsuan laporan keuangan yang menjadi pemicu gagal bayar klaim pemegang polis, maka perlu diambil langkah serius terhadap perbuatan tersebut.
Di samping itu, berdasarkan penuturan pengamat pasar modal, Budi Frensidy, gagal bayar Kresna Life terjadi akibat nilai investasi emiten yang terafiliasi dengan Grup Kresna turun drastis di bursa efek.
Hal demikian menunjukkan tata kelola yang buruk, utamanya karena perbuatan MS, bos Grup Kresna.