Cukup Bukti, Mengapa Tersangka Tragedi Muara Kate Masih Gelap?

Dua alat bukti sudah di tangan, mengapa polisi belum menetapkan tersangka pembunuh warga yang berjuang menolak angkutan batu bara di Muara Kate, sebuah dusun perbatasan Kalsel-Kaltim tersebut?

Russell, 60 tahun, warga Muara Kate yang tewas diserang oleh orang suruhan terkait aktivitas angkutan batu bara di jalan nasional. Foto: Dok.apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Sudah hampir tujuh bulan berlalu sejak tragedi berdarah di Dusun Muara Kate, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Penyerangan brutal terhadap warga penolak angkutan batu bara di jalan nasional itu menewaskan Russell (60) dan membuat Anson (55), tetua adat lainnya dalam kondisi kritis. Namun hingga kini, pelaku pembunuhan masih berkeliaran bebas.

Di bawah komando Kapolda Kaltim yang baru, Irjen Endar Priantoro, muncul titik terang penyelidikan. “Ini atensi khusus saya sebagai Kapolda,” tegas mantan Direktur Penyelidikan KPK tersebut, dalam agenda coffee morning bersama awak media, Selasa (27/5).

Namun, Endar mengakui kasus ini penuh tantangan. “Ini kasus pembunuhan. Kita bicara penyelidikan berbasis scientific investigation, bukan sekadar dugaan,” katanya.

Untuk menjaga objektivitas, tim khusus dibentuk. Gabungan penyidik dari Polres Paser dan Ditreskrimum Polda Kaltim ini dipimpin langsung oleh Direskrimum Kombes Jamaluddin Farti.

“Progresnya sangat baik,” klaim Endar, meski menolak merinci perkembangan. “Bahkan sangat baik,” sambungnya.

Jenderal bintang dua ini menekankan pentingnya kehati-hatian. “Kasus ini sensitif. Karakteristik wilayahnya unik. Semua harus terbukti secara ilmiah agar tak menimbulkan dampak sosial yang lebih luas,” ujarnya.

Dua Alat Bukti Sudah Di Tangan

Penelusuran media ini menunjukkan, di malam nahas itu total ada 11 warga berjaga. Mereka tertidur setelah berhari-hari bergantian menghalau setiap truk batu baru yang coba melintas dari arah Kalimantan Selatan. Asal tahu saja, penjagaan dimulai setelah kemarahan warga memuncak. Satu per satu nyawa melayang di jalan, dari tokoh agama hingga warga biasa.

Saat penyerangan terjadi, Anson selamat, namun tak bisa mengenali para pelaku. Satu-satunya petunjuk hanya ucapan terakhir Russell. Di ambulans, dia berkata para pelaku turun dari mobil, membawa senjata tajam, memakai masker. Jumlahnya kira-kira lima orang; dua menyerang, sisanya menunggu di sebuah Avanza.

Sepanjang Mei 2025, polisi pun memeriksa sedikitnya 15 saksi. Termasuk melakukan penyitaan handphone warga sekitar lokasi kejadian dan beberapa tokoh ormas yang disebut-sebut terkait dengan distribusi angkutan batu bara di Paser. Nama-nama yang dipanggil antara lain Bonar dari Pemuda Pancasila dan Agustinus Luki alias Panglima Pajaji. Hanya Pajaji yang belum diperiksa hingga saat ini.

Direskrimum Polda Kaltim Kombes Farti membenarkan sejumlah barang bukti telah dikirim ke Labfor Surabaya. “Bukti harus lebih terang dari cahaya. Minimal dua alat bukti, lebih bagus tiga, baru kami bisa bertindak,” ujarnya.

Tim, kata dia, bahkan menyisir ulang lokasi kejadian. “Proses masih terus berjalan. Polda sudah backup. Tapi sinyal komunikasi di sana memang sulit,” tambahnya.

Menurut KUHAP, penetapan tersangka memerlukan minimal dua alat bukti yang sah. Farti memastikan pihaknya tidak ingin gegabah. “Sudah ada dua alat bukti. Kami sedang maksimalkan itu,” ucapnya, tanpa membeberkan rinciannya.

Kabar adanya titik terang disambut positif oleh warga. Warta Linus, perwakilan masyarakat Muara Kate, mengapresiasi langkah polisi, namun meminta semua pihak diperiksa tanpa pandang bulu. “Harapan kami, semua yang diduga terlibat diperiksa, termasuk yang sudah kami sampaikan sejak awal,” kata Warta.

Kemarahan yang Memuncak

Konflik warga dengan PT Mantimin Coal Mining (MCM) bermula pada 2023, saat truk-truk tambang mulai melintas di jalan nasional. Jalan rusak, kecelakaan meningkat.

1 Mei 2024, Ustaz Teddy tewas tertabrak truk batu bara di Songka. Oktober berikutnya, Pendeta Veronika meninggal di tanjakan Marangit karena truk tak kuat menanjak.

Puncaknya, 15 November 2024, posko warga Muara Kate diserang subuh hari. Russell tewas, Anson kritis. Tiga hari pada April 2025, ribuan warga turun ke jalan. Mereka berdemo di Kantor Gubernur Kaltim dan DPRD Kalsel, menuntut dihentikannya hauling batu bara ilegal.

PT MCM diketahui mengantongi izin khusus PKP2B dengan wilayah operasi seluas 5.908 hektare di Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Setahun terakhir, truk-truknya hilir mudik ke Kalimantan Timur membawa hasil tambang ke Desa Rangan.

“Jangankan warga, anak sekolah pun sulit menyeberang jalan nasional selebar 5 meter karena padatnya truk,” ujar Irfan dari LBH Samarinda, kuasa hukum warga.

Sudah dua kali pergantian Kapolda, Komnas HAM dan Kompolnas juga turun tangan. Komnas HAM bahkan mengeluarkan rekomendasi agar penegakan hukum dilakukan secara adil dan transparan.

Media ini telah mencoba menghubungi Andreas Purba, jajaran direksi PT MCM. Namun, tidak mendapat respons. Kantor perusahaan di Citiloft Apartemen, Jakarta, juga sudah tidak aktif sejak tahun lalu.

Gerakan pelaku tergolong profesional; cepat, rapi, memakai masker. Tak ada yang bisa mengenali. Belasan CCTV yang diperiksa pun mengalami self-deletion.

Analisis dan Desakan Publik

Analis kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menilai penyidikan harus bebas dari intervensi. “Penetapan tersangka itu sepenuhnya kewenangan penyidik,” ujarnya.

Namun, ia juga mewanti-wanti agar kepentingan ekonomi-politik tak mengintervensi hukum. Ada relasi panjang antara elit penegak hukum dan korporasi tambang di Kaltim dan Kalsel. “Bisa saja ini jadi penghambat utama,” katanya.

Ia mendesak agar elite perusahaan tambang yang memakai jalan negara di Muara Kate diperiksa. Ia juga menyerukan pembentukan Dewan Kepolisian yang sejati, sesuai TAP MPR VII/2000.

Pengajar hukum di Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menjelaskan bahwa jika pembunuhan sudah terang dalam kronologi, maka seharusnya sudah masuk tahap penyidikan. “Sekarang polisi sudah punya dua alat bukti. Itu cukup untuk menetapkan tersangka,” jelasnya.

“Semakin lama prosesnya, semakin membuka potensi terjadinya chaos [spekulasi, red]. Proses hukum yang lamban itu juga membawa dampak buruk pada keluarga korban dan krisis kepercayaan masyarakat kepada aparat,” jelasnya.

419 kali dilihat, 419 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *