1446
1446

Culas! Bos-Bos Pertamina Oplos BBM

Salah satu tersangka skandal dugaan korupsi Pertamina; Direktur Optimasi Feedstok dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin mengenakan rompi tamahan Kejaksaan Agung. Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)

apakabar.co.id, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menguak fakta skandal dugaan korupsi Pertamina. Perusahaan milik negara ini mengoplos bahan bakar minyak (BBM).

“BBM berjenis RON 90, tetapi dibayar seharga RON 92, kemudian dioplos, dicampur,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar, dikutip Antara, Selasa (25/2).

Seperti diketahui. Setidaknya sejumlah petinggi di beberapa perusahaan grup PT Pertamina jadi tersangka.

Pertama adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Lalu Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi.

Kemudian ada nama Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin. Dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.

Kata Qohar, tindakan curang yang mereka lakukan bermula pada periode 2018-2023. Pemenuhan minyak mentah di tanah air mengutamakan pasokan dari dalam negeri. Sebagaimana diatur Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

PT Pertamina (Persero) wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri. Sebelum merencanakan impor.

Akan tetapi, tersangka Riva, Sani dan Agus, melakukan pengondisian. Yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang. Sehingga minyak bumi dalam negeri tak terserap seluruhnya.

Pengondisian itu membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.

Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, minyak mentah dalam negeri dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) juga sengaja ditolak. Alasannya spesifikasi tak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis.

Maka, tak ada pilihan. Secara otomatis, bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah. Dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.

Dalam kegiatan impor itu, ditemukan fakta. Ada pengondisian pemenangan broker yang telah ditentukan. Dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan.

Karena itu, Kejagung juga menetapkan sejumlah tersangka dari beberapa perusahaan swasta. Mereka diduga terlibat.

Yakni, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim; Dimas Werhaspati. Lalu ada Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak; Gading Ramadhan Joedo.

Mereka berkomunikasi dengan Agus. Agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari Sani maupun Riva untuk kegiatan impor.

“Kerugian negara akibat impor minyak mentah melalui broker. Jadi, pada saat yang sama, bagian KKKS itu dijual ke luar negeri dengan alasan harganya tidak masuk HPS,” jelas Qohar.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva melakukan pembelian BBM berjenis RON 92. Padahal, sebenarnya hanya membeli RON atau lebih rendah.

BBM tersebut kemudian dioplos di storage atau depo untuk dijadikan RON 92. Padahal, hal tersebut tak diperbolehkan.

Setelah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh pula fakta lain. Ada mark up kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi.

Akibatnya, negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum. Tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.

Aksi-aksi culas itu jelas bikin negara merugi. Tak sedikit. Ditaksir mencapai Rp193,7 triliun.
Di sisi lain, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM yang dijual kepada masyarakat menjadi lebih mahal.

“Ketika itu dijual kepada masyarakat. Maka, jelas masyarakat tidak mampu atau terlalu tinggi sehingga pemerintah turun tangan membeli dan memberikan subsidi dan kompensasi. Ini akibatnya uang APBN tergerus,” tutupnya.

52 kali dilihat, 4 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *