Hutan di Kalteng Menyusut Signifikan, Walhi: Pemerintah Inkonsisten

Saat ini Kalteng sudah bisa dikatakan sebagai wilayah darurat bencana ekologis.

Asap menutupi hutan saat kebakaran di Kabupaten Kapuas dekat Palangka Raya di provinsi Kalimantan Tengah, 30 September 2019. Foto: Reuters/Willy

SEJAK awal Oktober 2024, terdapat 5 kabupaten di Kalimantan Tengah dilanda banjir. Dari Barito Utara, Murung Raya, Barito Selatan, Kapuas, hingga Pulang Pisau.

Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), lima kabupaten tersebut juga merupakan wilayah yang berulang kali dilanda banjir sejak tahun 2019.

Bahkan setiap tahunnya, kondisi banjir pada lima wilayah tersebut semakin memburuk. Ditandai dengan semakin luasnya titik lokasi banjir yang terjadi.

Selain diakibatkan oleh tingginya intensitas hujan menuju akhir tahun, menurunnya tutupan hutan dan lahan di Kalimantan Tengah ditengarai sebagai imbas dari alih fungsi lahan. Yang berdampak pada kerusakan hutan dan lahan.

“Ini mengakibatkan area serapan air menjadi menurun. Sehingga, volume air yang turun ketika hujan melanda menjadi tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya menggenangi beberapa wilayah di Kalimantan Tengah,” jelas Direktur Walhi Kalteng, Bayu Herinata, Jumat (25/10).

Berdasarkan hasil kajian, Walhi menemukan perubahan signifikan tutupan hutan dan lahan di Kalimantan Tengah selama periode tahun 2019 sampai dengan tahun 2022.

Terdapat empat klasifikasi peruntukan lahan mengalami penurunan tutupan lahan pada periode 2019-2022, yakni Semak Belukar seluas 44,360 ha, Belukar Rawa seluas 196,285 ha, Hutan Mangrove Primer seluas 493 ha dan Hutan Rawa Primer seluas 4.259 ha.

Penurunan tutupan lahan di empat klasifikasi ini, kata Bayu dapat disimpulkan dugaan adanya pengalihfungsian lahan untuk peruntukan lainnya yang masih belum diketahui.

“Ini dapat diindikasikan sebagai deforestasi akibat pengalihfungsian lahan,” tutur Bayu.

Tak hanya perubahan kondisi tutupan lahan semakin memburuk, selain itu tingkat perubahan kondisi tutupan lahan tersebut beriringan dengan semakin luasnya penguasaan lahan oleh investasi skala besar.

Analisis Walhi juga menunjukan adanya kenaikan luasan tutupan lahan pada 5 klasifikasi peruntukan tutupan lahan pada periode 2019-2022 yaitu Tutupan Perkebunan Sawit meningkat seluas 123.766 ha, Hutan Tanaman meningkat seluas 12.649 ha, dan Pertambangan seluas 40.691 ha.

Kenaikan tutupan lahan dapat diindikasikan Walhi sebagai deforestasi yang diduga akibat oleh pengalihfungsian lahan menjadi aktivitas industri ekstraktif.

“Aktivitas industri ekstraktif ini diindikasikan sebagai penyebab masifnya kerusakan lingkungan yang berujung rentannya beberapa kabupaten terjadi banjir,” jelas Bayu.

Sejalan dengan kondisi tutupan lahan yang semakin buruk, Bayu juga menilai sikap pemerintah dalam upaya menanggulangi faktor penyebab adanya bencana berulang juga semakin bias dan inkonsisten.

Maksudnya, Pemerintah Kalimantan Tengah saat ini belum juga menunjukan sikap yang jelas terutama dalam membuat kebijakan mitigasi bencana. Meski bencana banjir di Kalimantan Tengah sudah terjadi selama 5 tahun ini.

“Pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang benar-benar untuk keselamatan rakyat, jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan terus tidak tepat sasaran,” jelasnya.

“Segerakan evaluasi kebijakan tata kelola sumber daya alam di Kalteng dan segera evaluasi tata ruang untuk memperjelas posisi kerentanan bencana di Kalteng,” tambahnya.

Janang Firman Palanungkai selaku manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng menegaskan bahwa saat ini Kalteng sudah bisa dikatakan sebagai wilayah darurat bencana ekologis.

Dibuktikan dengan adanya bencana yang terus berulang namun tidak menimbulkan adanya kebijakan Tata Kelola Lingkungan Hidup yang mampu secara tepat memitigasi bencana yang ada.

“Sudah seharusnya menuju akhir tahun 2024 ini bisa momen bagi Pemerintah di Kalteng untuk bisa serius berbenah dalam hal penata kelola lingkungan hidup,” jelasnya.

“Ini harus jadi langkah serius untuk memitigasi bencana besar berulang di Kalimantan Tengah,” sambungnya.

Bencana yang berulang di lokasi yang sama, kata dia, terjadi di daerah dengan adanya investasi skala besar berbasis lahan.

“Kondisi penguasaan ruang oleh investasi skala besar di Kalimantan Tengah kini sudah mencapai 78% dari luas wilayah Kalteng,” jelasnya.

Menurutnya, ini menjadi ancaman adanya perubahan tutupan lahan dan meningkatnya angka deforestasi.

“Sehingga harus jadi pertimbangan mengapa kebijakan mitigasi bencana mesti beriringan dengan kondisi tata kelola lingkungan hidup,” jelasnya.

Pemerintah harus tegas. Kata dia, segera laksanakan audit lingkungan dan jangan menunggu bencana datang baru ada respons.

Kalimantan Tengah butuh segera kebijakan mitigasi bencana yang terukur serta tepat sasaran untuk mewujudkan keadilan ekologis.

“Bukan hanya sekadar bantuan sosial dalam bentuk sembako saja. Di mana bentuk penyikapan tersebut patut disebut dengan istilah respons yang latah,” tambahnya.

26 kali dilihat, 2 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *