Pemprov Kalsel Paksa Taman Nasional, Masyarakat Adat Meratus Melawan

Plang Wilayah Hak Kelola Hutan Adat di Pegunungan Meratus. Foto: walhi

apakabar.co.id, JAKARTA – Rencana Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) untuk mengubah status Pegunungan Meratus dari hutan lindung menjadi Taman Nasional kembali menuai penolakan keras.

Masyarakat adat Dayak Meratus, yang telah turun-temurun menjaga ekosistem kawasan ini, menilai kebijakan tersebut mengancam keberlangsungan hidup mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai adat yang telah mereka pegang selama berabad-abad.

Aliansi Meratus, yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan dan masyarakat sipil, menegaskan bahwa pembahasan rencana ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan Meratus.

Mereka menyebut tindakan ini sebagai bentuk pelecehan terhadap hak-hak masyarakat adat dan upaya sistematis untuk merebut ruang hidup mereka.

“Kami telah menjaga Meratus jauh sebelum negara ini ada. Rencana ini bukan hanya penguasaan oleh negara dan kapitalisme, tetapi juga bentuk kolonialisme baru yang mengusir kami dari tanah leluhur,” ujar perwakilan Aliansi Meratus dalam siaran persnya.

Masyarakat adat menolak keras proyek ini karena selama puluhan tahun mereka telah membuktikan bahwa model konservasi berbasis kearifan lokal jauh lebih efektif dalam menjaga keseimbangan ekologi dibandingkan konsep taman nasional yang ditentukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial budaya setempat.

Dalam pernyataan sikapnya, Aliansi Meratus mengajukan beberapa tuntutan utama:

1. Menolak tegas perubahan status Pegunungan Meratus menjadi Taman Nasional.

2. Menuntut penghentian seluruh pembahasan Taman Nasional hingga ada pengakuan resmi terhadap Masyarakat Hukum Adat.

3. Memperingatkan pemerintah bahwa jika tuntutan ini diabaikan, masyarakat adat tidak akan tinggal diam dan siap melakukan perlawanan sesuai hukum adat maupun langkah hukum lainnya.

4. Mengajak seluruh masyarakat sipil, baik di Kalimantan Selatan maupun seluruh Indonesia, untuk bersatu menolak proyek yang dinilai merampas hak masyarakat adat.

5. Menyerukan seluruh elemen masyarakat Dayak untuk bersatu dalam gerakan menolak Taman Nasional di Pegunungan Meratus.

Penolakan terhadap Taman Nasional ini bukanlah hal baru. Sejak tahun 1970-an, masyarakat Dayak Meratus telah secara konsisten menolak proyek serupa yang selalu diusung oleh pemerintah tanpa melibatkan mereka. Namun, hingga kini, suara mereka tetap diabaikan.

Menurut Aliansi Meratus, pemerintah seharusnya mengakui keberadaan masyarakat adat terlebih dahulu sebelum membahas konsep konservasi.

Masyarakat Dayak Meratus telah lama menjaga keseimbangan ekologi antara kawasan perlindungan dan kawasan budidaya secara alami, tanpa perlu intervensi negara.

Selain itu, mereka juga mengkritik kebijakan yang lebih mengutamakan pendapat akademisi dan ilmuwan yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat adat di Meratus.

Mereka menilai bahwa pemerintah lebih mendengar pihak-pihak dari luar Kalimantan Selatan dibandingkan mereka yang benar-benar hidup dan menjaga wilayah tersebut.

Hingga saat ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan masyarakat adat.

Namun, perlawanan terhadap rencana ini terus membesar, dengan semakin banyak organisasi yang bergabung dalam Aliansi Meratus untuk mempertahankan tanah leluhur dari ancaman eksploitasi berkedok konservasi.

Apakah pemerintah akan tetap bersikeras atau akhirnya mendengar suara masyarakat adat? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Namun satu hal yang pasti, perjuangan masyarakat Dayak Meratus untuk mempertahankan tanah mereka belum akan berakhir.

Media ini sudah menghubungi Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol. Belum ada respons.

35 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *