apakabar.co.id, JAKARTA – Target produksi batu bara nasional kembali dinaikkan oleh pemerintah pusat, kali ini menyentuh angka fantastis menjadi 739,67 juta ton pada tahun 2025.
Seperti biasa, Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur (Kaltim), menjadi ujung tombak pemenuh angka itu. Namun di balik geliat ekonomi tambang, ada cerita lain yang terus berulang, yaitu kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat.
Dinamisator Jaringan Advokasi Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Mareta Sari, menyebut target produksi tersebut tidak sejalan dengan janji pemerintah soal perbaikan lingkungan. Alih-alih memperbaiki, kebijakan ini justru memperparah kondisi ekologis di wilayah tambang.
“Apakah ini menjawab komitmen terhadap perbaikan lingkungan? Tentu saja tidak,” tegas Mareta, Senin (21/7).
Menurutnya, perusahaan tambang akan menyesuaikan target produksi tanpa mempertimbangkan daya rusak yang ditimbulkan.
Ketergantungan terhadap batubara tetap dipertahankan, baik untuk pasokan energi domestik seperti PLN dan PLTU industri, maupun untuk memenuhi permintaan pasar global.
“Setiap awal tahun perusahaan sudah punya target, dan itu dipantau setiap empat bulan. Target ini biasanya dikaitkan langsung dengan capaian pendapatan negara (APBN) dan daerah (APBD),” jelas Mareta.
Ia mencontohkan holding group seperti Bumi Resources, pemilik KPC dan Arutmin, yang menargetkan 70–80 juta ton per tahun hingga 2025. Target ini diumumkan sejak 2024 dan dievaluasi secara berkala.
Jika target tidak tercapai, perusahaan bisa menaikkan target tahun berikutnya untuk memberi kesan kepatuhan terhadap rencana produksi. Citra baik ini penting agar perusahaan tetap mendapat ruang dan kepercayaan.
Menurut Mareta, lemahnya permintaan global akibat kondisi ekonomi dunia yang lesu menjadi alasan target domestik ditingkatkan. Namun, kenyataannya harga batu bara justru menurun sejak awal tahun.
“Permintaan ekspor melemah, tapi pengerukan tetap digenjot. Di satu sisi ini untuk keuntungan negara, tapi kerusakannya ditanggung lingkungan,” tegasnya.
China dan India masih menjadi pembeli utama batubara Indonesia untuk keperluan energi di PLTU. Tapi, dampaknya dirasakan langsung masyarakat lingkar tambang. Terutama di Kalimantan. Banjir, longsor, hingga konflik lahan terus terjadi.
Mareta menyebut perusahaan tetap mendorong perpanjangan izin produksi hingga 2030. “Kalau belum tercapai target di 2030, bisa diperpanjang sementara.
Di Kutai Timur misalnya, ada wilayah yang rusak sejak 25 tahun lalu oleh aktivitas KPC. Dampaknya masih dirasakan sampai sekarang, mulai dari banjir, jalan berlubang, sampai konflik dengan warga,” ujarnya.
Menurut Mareta, semakin tinggi target produksi, semakin besar juga luasan lahan yang harus dibongkar.
Batubara yang terkubur di bawah tanah harus diambil dengan cara pengerukan besar-besaran menggunakan excavator hingga bahan peledak.
“Dampaknya nyata; lubang tambang makin banyak, air tercemar, tanah warga jadi konflik. Kalau warga menolak, bisa-bisa dikriminalisasi,” ucapnya.
Ia menilai peningkatan target produksi hanya memperkaya perusahaan dan negara, tanpa mengatasi kerusakan yang ditimbulkan.
Bahkan pelanggaran di sektor ini terus menumpuk. JATAM mencatat, pada 2018 terdapat 1.404 izin tambang di Kaltim, termasuk 30 PKP2B.
Setelah revisi UU Minerba 2020, jumlahnya menurun drastis. Banyak perusahaan pasif, tapi lubang tambang tetap dibiarkan menganga.
“Semua perusahaan, aktif maupun pasif, seharusnya diaudit dan dikenakan penegakan hukum. Reklamasi harus dilakukan sesuai standar dengan pengawasan pemerintah dan masyarakat,” kata Mareta.
Ia mengingatkan jika kerusakan terus dibiarkan, tidak akan ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban dalam 10–15 tahun ke depan.
Soal transisi energi, ia juga skeptis. Menurutnya, ekonomi hijau dan biru yang digadang-gadang pemerintah masih terjebak dalam ketergantungan pada batu bara.
Alternatif seperti pertanian, perladangan, dan perikanan belum dijadikan prioritas karena lahan-lahan subur sudah terlanjur dikonversi menjadi wilayah tambang.
“Jadi peralihannya bukan solusi. Ekonomi hijau dan biru itu masih berkelindan dengan tambang. Masalahnya masih sama,” tutup Mareta.
Hal senada disampaikan akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo. Ia menyebut kenaikan target sebagai kebijakan simalakama.
“Kalau tidak diambil, kita tidak punya duit. Tapi dampak ekologinya besar. Banjir, longsor, rumah roboh, puluhan orang masuk lubang tambang,” kata Purwadi.
Ia mengkritik ketidakkonsistenan pemerintah soal transisi energi. Di satu sisi bicara soal ekonomi hijau, tapi di sisi lain tetap mengizinkan ekspansi tambang terbuka.
Ia mencontohkan riset yang menyebut 80 persen mobil listrik di Indonesia masih menggunakan listrik dari PLTU batu bara.
“Berarti kan tidak konsisten. Mobil listrik disebut solusi emisi, tapi bahan bakarnya tetap dari batu bara,” ujarnya.
Purwadi juga menyoroti pernyataan Menteri Investasi sekaligus Plt. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang justru membenarkan eksploitasi batu bara karena negara lain pun melakukannya.
“Pak Bahlil bilang, Amerika saja masih gali batu bara, kenapa kita enggak ikut. Padahal dia juga yang bicara soal transisi energi. Ini semua cuma slogan,” tegasnya.
Ia menambahkan, meski pasar Amerika melorot, masih ada peluang ekspor batu bara ke Eropa hingga 20 tahun ke depan. “Artinya ekonomi hijau dan biru kita itu masih jauh dari kenyataan. Slogan doang,” katanya.
Purwadi menilai semua wilayah di Kalimantan kini rawan banjir besar. Ia menyebut Bontang, Sangatta, Samarinda, hingga Mahulu sebagai contoh. Di Mahulu, air bahkan sempat mencapai 4 meter. “Kami harus kirim nasi bungkus pakai skoci waktu itu,” kenangnya.
Dalam satu forum nasional bersama ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, Prof. Bambang Brodjonegoro, Purwadi secara langsung menyampaikan soal inkonsistensi kebijakan energi nasional.
“Di forum itu saya bilang, satu bicara hijau, yang lain izinkan gali batu bara. Ini tidak selaras,” tutupnya.
Kementerian ESDM mencatat sekitar 70 persen pasokan batu bara nasional berasal dari Kalimantan. Batu bara juga menyumbang 40,56 persen dalam bauran energi nasional pada 2024 dan masih menjadi sumber utama pembangkit listrik, dengan 50–60 persen PLTU bergantung pada komoditas ini.
Produksi batu bara tahun 2024 ditargetkan 710 juta ton, namun realisasinya tembus 836,1 juta ton. Nilai produksinya mencapai 37,77 miliar dolar AS.
Sementara target tahun 2025 naik menjadi 739,67 juta ton, dan hingga Mei sudah terealisasi 357,6 juta ton dengan nilai ekspor 12,35 miliar dolar AS.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba mencapai Rp140,46 triliun pada 2024, atau 52 persen dari total PNBP Kementerian ESDM.
Pemerintah menilai batu bara berperan penting dalam mendorong ekonomi nasional, namun menekankan pentingnya pengelolaan yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.