apakabar.co.id, JAKARTA – Kapolres Bontang resmi berganti di tengah sorotan kasus dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) dan kriminalisasi terhadap nelayan Muara Badak.
Jabatan AKBP Alex Frestian Lumban Tobing diserahkan kepada AKBP Widho Anriano, perwira menengah dari Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri.
Tobing yang menjabat sejak Desember 2023 itu kini dimutasi ke Inspektorat Polda Metro Jaya. Sementara Widho akan mengemban tugas baru di Bontang, wilayah hukum yang kini jadi perhatian nasional karena persoalan lingkungan dan hak-hak masyarakat pesisir.
Pergantian ini menarik perhatian karena terjadi di tengah sorotan atas kasus dugaan kriminalisasi nelayan Muara Badak yang melawan pencemaran lingkungan oleh PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS).
Di bawah kepemimpinan Tobing, laporan PHSS terhadap empat nelayan atas dugaan penghasutan justru dinaikkan ke tahap penyidikan.
Padahal para nelayan ini adalah korban. Mereka kehilangan sumber penghidupan akibat dugaan pencemaran limbah migas dari operasi PHSS, yang menyebabkan kematian massal kerang darah di enam desa pesisir Muara Badak sejak akhir 2024.
Kasus ini belakangan juga menjadi perhatian langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq. Hanif sudah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum Irjen Pol Rizal Irawan menangani perkara ini.
Soal ini, Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Yulianto menyatakan mutasi Tobing adalah bagian dari promosi dan pembinaan karier. Ia menegaskan, pergantian ini tak akan menghambat proses penanganan perkara.
“Kapolres Bontang termasuk salah satu dari 12 personel yang mendapat promosi jabatan. Hal ini bagian dari pembinaan karir terhadap yang bersangkutan maupun penggantinya,” ujarnya, Kamis (3/7). “Penanganan kasus tetap berjalan.”
Saat ditanya apakah ada instruksi khusus kepada pejabat baru, Yulianto menjawab singkat, “Pastilah, hal-hal yang belum selesai harus diselesaikan oleh pejabat yang baru.”
Namun, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menekankan pentingnya konsistensi Polri dalam menangani perkara yang melibatkan kepentingan publik.
“Kapolres sebagai penyidik utama di wilayah bisa melakukan intervensi jika ditemukan penyimpangan dalam penyelidikan atau penyidikan,” kata Bambang dihubungi terpisah, Rabu (3/7).
Ia mengingatkan bahwa pergantian jabatan seharusnya tidak mempengaruhi komitmen terhadap penegakan hukum yang adil dan akuntabel. “Konsisten saja dengan aturan hukum yang ada,” ujarnya.
Alih-alih mendapat keadilan, empat nelayan, Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre, justru dipanggil oleh Polres Bontang atas laporan PHSS. Mereka dituduh menghasut dan masuk ke pekarangan tanpa izin saat melakukan aksi protes di lokasi pengeboran RIG Great Wall Drilling Company 16 pada Januari–Februari 2025.
Aksi itu merupakan bagian dari perjuangan warga yang menuntut tanggung jawab atas pencemaran.
Padahal, aksi tersebut diikuti ratusan warga yang khawatir akan pencemaran lanjutan. Lokasi pengeboran diyakini sebagai sumber limbah yang merusak tambak kerang darah. Kerugian warga ditaksir mencapai Rp69 miliar, dengan 299 kepala keluarga petambak terdampak.
Muhammad Yusuf mengaku aksi tersebut diwarnai intimidasi dan kekerasan. “Kami melakukan aksi terus-menerus. Tapi terjadi pemukulan, penangkapan, sampai semua massa aksi diperiksa,” ujarnya.
Dalam kondisi tertekan dan trauma, kata Yusuf, sebagian nelayan melontarkan pernyataan yang kemudian dianggap sebagai penghasutan.
“Kami sangat tertekan. Kami memohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” tegasnya. Ia juga menyampaikan rasa syukurnya atas perhatian dari Menteri Lingkungan Hidup. “Alhamdulillah, allahuakbar,” ucapnya lirih.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2024 tentang Anti-SLAPP menegaskan bahwa warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat tidak dapat dipidana atau digugat perdata.
“Warga pejuang lingkungan tidak bisa dipidana karena adanya mekanisme Anti-SLAPP tersebut,” ujar Merah Johansyah, peneliti dari Nugal Institute sekaligus mantan Koordinator Nasional JATAM, Senin (23/6).
Menurutnya, bukan hanya PHSS yang bisa diproses secara pidana, tapi kepolisian juga dapat digugat balik jika tetap melanjutkan kriminalisasi. Ia mendesak Menteri LH segera berkomunikasi dengan kepolisian agar proses hukum terhadap warga dicabut.
“Kalau tetap dilanjutkan, maka itu melanggar UU 32/2009 tentang PPLH dan Permen 10/2024 tentang Anti-SLAPP,” kata Merah.
Ia juga menekankan bahwa KLHK harus menyelidiki dugaan pidana lingkungan oleh PHSS. “Tak cukup hanya menghentikan kriminalisasi. Akar pencemarannya harus ditindak,” ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq telah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum KLHK, Irjen Pol Rizal Irawan, untuk berkoordinasi langsung dengan Polres Bontang.
“Sudah dilakukan konfirmasi, insyaallah [selesai permasalahannya],” kata Menteri Hanif, akhir pekan lalu.
Namun hingga berita ini diturunkan, proses hukum terhadap para nelayan belum dihentikan. Upaya konfirmasi kepada AKBP Alex Tobing tidak mendapat respons. Begitu pula dengan pesan yang dikirimkan ke Manager Comrel & CID PHSS, Dony Indrawan, yang belum dijawab.