apakabar.co.id, JAKARTA – Dugaan represi dan pembungkaman akademisi jelang pemungutan suara, 14 Februari disikapi Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Mereka melihat, berkaitan dengan pendisiplinan terhadap berbagai kampus yang menyikapi situasi sosial-politik Indonesia akhir-akhir ini, menunjukkan berbagai perilaku yang bertentangan dengan cita-cita ideal demokrasi.
“Netralitas aparatur negara yang seharusnya bersikap netral untuk memastikan Pemilu berjalan secara jujur dan adil, justru menunjukkan kecenderungan penggunaan instrumen kekuasaan demi kepentingan politik sesaat serta berpotensi besar terjadi kecurangan Pemilu,” jelas Juru Bicara KIKA, Herdiansyah Hamzah, Rabu (7/2).
Berbagai kampus seperti UI, UGM, UII, IPB, UNPAD, UNAIR, UB serta berbagai perguruan
tinggi lainnya di Indonesia telah menyatakan sikap. Namun pada saat yang sama, KIKA melihat ada upaya
intervensi yang sistematis. Termasuk menggunakan instrumen kepolisian, di mana polisi
ditengarai menyambangi sejumlah pejabat kampus dengan dalih wawancara.
Para aparat ini, sambung Castro, sapaan karib Herdiansyah, menyiapkan narasi bahwa Presiden Jokowi berjasa dan berkinerja baik selama memimpin. Sebab, wawancara yang kemudian muncul di media sosial itu diduga sebagai narasi tandingan melawan gerakan kampus yang mengkritik rezim Jokowi.
Fenomena serangan terhadap guru besar, dosen, beserta sivitas akademika itu, kata dia, jelas sebagai upaya untuk mendisiplinkan kebebasan akademik. Termasuk telah melanggar Surabaya Principle of Acamemic Freedom. Yang telah diadopsi dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Komnas HAM. Khususnya pada standar 4 dan 5, yaitu: insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka
mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan
untuk kemanusiaan.
“Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik,” jelas akademisi hukum dari Universitas Mulawarman ini.
Pasal 9 (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam pendidikan tinggi. Guna mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Selain itu dalam mekanisme hukum dan HAM di Indonesia, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas.
Termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (ICCPR/Indonesia ratifikasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, dan pasal 13 Kovenan EKOSOB (ICESCR/Indonesia ratifikasi dalam UU Nomor 11 Tahun 2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan.
Baginya, perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
Karenanya, KIKA menolak segala bentuk pendisiplinan dan atau pemaknaan netralitas yang diperuntukkan untuk pembatasan hak, baik yang dilakukan oleh pemimpin perguruan tinggi atau pihak yang mengatasnamakan universitas ataupun aparat penegak hukum.
KIKA pun mendorong para pihak untuk menghormati proses demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan akademik, dengan menjaga jarak pada pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi UU.
Mereka juga mengecam tindakan represif terhadap civitas akademika. Dan mendorong penyelenggaraan Pemilu 2024 betul-betul berjalan langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
“Penyelenggara negara harus netral dan bekerja sesuai sumpahnya,” pungkas Castro.