Setelah divonis bersalah beberapa tahun lalu, kasus gratifikasi Mardani H Maming kembali mengemuka. Bahkan menjadi trending topik.
Oleh: M Uhaib Asad
KOMENTAR kritis kemudian datang dari sejumlah pengamat hukum, akademisi, hingga aktivis. Bahkan dari kalangan tokoh agama pun ikut memberikan komentar terkait praktik korupsi kebijakan tambang yang dituduhkan ke Mardani H. Maming
Pertanyaan dasarnya adalah mengapa kasus ini muncul kembali dan menjadi trending topik dalam beberapa waktu terakhir?
Sejumlah pakar hukum dari beberapa universitas, antara lain Universitas Pajajaran Bandung, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, dan masih banyak universitas lainnya meminta Maming dibebaskan dari penjara.
Menurut mereka Maming tidak bersalah dan tidak melanggar pasal-pasal yang dituduhkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah pasal yang dituduhkan itu tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Artinya, pasal yang dituduhkan itu salah alamat dan tidak ada pasal hukum yang dilanggar oleh Mardani H. Maming dalam hal kebijakan pengelolaan pertambangan di Tanah Bumbu saat masih menjabat Bupati. Bahkan, menurut analisa pakar hukum bahwa kasus ini sudah menjadi Peradilan Sesat dalam penegakan hukum di negeri ini.
Kasus ini ini telah menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum. Ada kesan kuat bahwa pasal yang diterapkan oleh para hakim tipikor tidak sesuai dengan fakta.
Dan ada kesan bahwa pasal diterapkan itu dipaksakan untuk menjebloskan Maming ke penjara. Ya inilah mafia hukum. Inilah peradilan sesat dialami mantan Bupati Tanah Bumbu itu.
Publik Kalimantan Selatan sudah paham, kasus Maming ini tidak berada dalam ruang hampa kepentingan bisnis dan politik. Seperti diketahui, Kabupaten Tanah Bumbu adalah daerah kaya sumber daya tambang batubara.
Sumber daya alam tambang batubara itu bukan saja sekedar aktivitas bisnis ekonomi, juga menjadi instrumen persekongkolan membangun jaringan patronase politik dan bisnis. Masifnya industri tambang di Tanah Bumbu telah berlangsung puluhan tahun telah melahirkan raja-raja batubara, local strongman, local bossism.
Para bos tambang itu telah mengendalikan kebijakan industri tambang dan industri politik di Kalimantan Selatan, khusus terkait dinamika politik lokal (Pilkada).
Kasus Maming sesungguhnya adalah pertarungan dan persaingan aktor lokal untuk menguasai wilayah bisnis dan politik. Merujuk pada teori Mancure Olson, kasus Tanah Bumbu telah mendeskripsikan bekerjanya kekuatan roving bandit dan stationary bandit. Yaitu para aktor saling pengaruh dan saling bertarung untuk menguasai sumber daya ekonomi untuk memperkaya diri dan jaringan oligarki.
Sebagai pejabat publik, Mardani menggunakan sejumlah kebijakan dalam konteks pengelolaan sumberdaya tambang batubara dan melakukan politik dan bisnis tukar tambah dengan jaringan politik dan bisnis yang dimiliki. Jaringan politik dan bisnis yang dijalankan Maming selama jadi penguasa Tanah Bumbu kemungkin terjadi benturan kepentingan dengan aktor lain yang saling berebut kuasa dan saling berebut pengaruh sesama local bossism.
Saya berpendapat bahwa kasus Maming sampai berujung ke penjara tidak terlepas soal rivalitas bisnis dan politik di antara aktor lokal di Tanah Bumbu.
Kini, munculnya gugatan dari sejumlah pakar hukum dan tokoh masyarakat untuk membebaskan Mardani H. Maming untuk dibebaskan dari penjara karena terjadi Peradilan Sesat dan kesan dipaksakan dijebloskan ke penjara.
Sekali, kasus ini tidak berada dalam ruang hampa dari persaingan bisnis dan politik aktor lokal di Tanah Bumbu. Ini adalah pertarungan antara mining boss yang saling berebut kuasa, kuasa bisnis dan politik yang berlindung di balik pasal-pasal hukum dan instrumen penegakan hukum. (*)
Penulis adalah Dosen Politik Universitas Islam Kalimantan dan penulis sejumlah buku salah satunya Pilkada dan Tambang: Oligarki yang Makin Menguat