[OPINI] Agama dan Ilmu dalam Beragama

Ilustrasi agama dan ilmu. Foto: Quora

Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*

Ilmu adalah di antara pintu masuk kepada agama yang merupakan pintu masuk juga menuju surga. Maka ilmu menjadi penting.

Dalam memahami dan mengamalkan agama, ilmu diibaratkan cahaya Allah (Nurullah), yang artinya akan menerangi baik jalan, cara atau tujuan seseorang khususnya dalam kehidupan beragama.

Sebenarnya, wawasan atau pengetahuan tentang suatu perintah dapat saja ditempuh secara begitu saja. Artinya suatu perintah ketika didengar adalah untuk ditaati dengan kaidah “Sami’naa wa atho’naa” yang artinya kami dengar dan kami taat.

Pada saat yang sama, kondisi baik dari dalam diri seseorang maupun lingkungan atau di luar diri bagi sebagian orang dirasa masih membingungkan, maka dibutuhkan petunjuk atau jalan keluar dari kebingungan itu, di antaranya melalui cahaya Allah yaitu ilmu.

Adanya prioritas dalam kehidupan dinamis memang tidak senantiasa berlaku. Namun konsepsi prioritas sejatinya sangat diutuhkan dalam memudahkan pelaksanaan.

Suatu amalan, ajaran agama misalnya bisa saja nampak menjadi penting namun pada saat yang sama butuh pertimbangan untuk lebih didahulukan.

Sebagai contoh, perintah salat dalam petang. Meski genting, suasana perang tidak menjadikan urgensi salat terabaikan. Bahkan ada ayat yang secara khusus berbicara pelaksanaan salat bagi Muslimun yang sedang melaksanakan atau dalam kondisi perang.

Dalam Al-Qur’an, disebutkan untuk tetap melaksanakan shalat sedemikian rupa bahkan segenting pada saat perang.

Adanya ukuran yang dapat memudahkan pemamahan serta dapat dipahami bersama. Pemahaman bersama sangat dibutuhkan dalam konteks kehidupan bersama agar dapat berjalan dalam keserasian dan keharmonisan.

Ukuran yang mensyaratkan pakem-pakem tertentu juga batasan sangat bermanfaat untuk memudahkan khususnya pemahaman.

Mengingat terminologi ilmu adalah cahaya Allah, maka yang perlu diperhatikan terkait hal ini adalah cahaya Allah tidak datang atau terhalang terpancar terhadap seseorang oleh maksiat.

Dikatakan bahwa “Al-ilmu nuurun wa Nurullahi laa yuhda lil’aashi” ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak ditunjukkan dengan maksiat! Maka menghindari maksiat adalah bagian dari pada usaha untuk menggapai cahaya Allah agar terang-benderang kehidupan dari segala kebingungan. Allahu a’lam!

*Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera

34 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *