News  

Pertamina Buka Suara Terkait Kasus Nelayan Muara Badak

Spanduk penolakan pembuangan limbah milik PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) di Muara Badak, Kalimantan Timur. Foto: katakaltim

apakabar.co.id, JAKARTA – PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) akhirnya angkat bicara terkait kriminalisasi empat nelayan Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang dijerat hukum usai memasuki wilayah operasi migas yang diklaim sebagai objek vital nasional (obvitnas).

Manager Communication Relations & CID Regional 3, Dony Indrawandari, mengatakan perusahaan menghormati hak setiap warga menyampaikan aspirasi, selama dilakukan sesuai hukum.

Ia menegaskan bahwa Pertamina memiliki mandat menjaga keamanan dan keselamatan operasi hulu migas sebagai objek vital nasional, dan karena itu perusahaan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

“Perusahaan senantiasa bersikap kooperatif demi tercapainya solusi terbaik sesuai ketentuan hukum,” kata Donny, Senin (4/8).

Ia menambahkan, Pertamina selalu mengajak masyarakat bersama menjaga keberlanjutan produksi migas nasional sesuai Asta Cita pemerintah.

Sudah empat bulan berlalu sejak PHSS melaporkan empat nelayan: Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre.

Mereka dituding masuk kawasan obvitnas tanpa izin. Padahal, aksi mereka bermula dari keresahan terhadap rusaknya lingkungan tambak kerang darah di enam desa pesisir Muara Badak.

Hingga kini, proses hukum belum tuntas. Kasat Reskrim Polres Bontang, AKP Hari Supranoto, menyebut dua laporan masih ditangani: satu dari PHSS yang sudah naik ke tahap penyidikan, dan satu dari warga yang masih dalam penyelidikan.

“Nanti pada waktunya akan kita sampaikan. Itu tugas kami,” kata Hari, Selasa (29/7).

Krisis lingkungan yang diprotes nelayan bermula akhir 2024, ketika panen kerang darah gagal total. Menurut Yusuf, sebanyak 299 kepala keluarga terdampak. Lahan tercemar diperkirakan mencapai 1.000 hektare, dengan potensi kerugian hingga Rp68,4 miliar. Produksi yang hilang ditaksir mencapai 3.800 ton.

Hasil riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman menyebut ada lonjakan bahan organik, lumpur pekat, serta infeksi bakteri dan parasit yang mengganggu sistem pernapasan kerang darah.

Namun dugaan pencemaran belum ditindak serius. Sebaliknya, warga justru dilaporkan ke polisi.

Aksi protes berlangsung Januari–Februari 2025 di sekitar rig pengeboran milik Great Wall Drilling Company 16. Ratusan warga terlibat, empat di antaranya kini berstatus tersangka. Dalam tekanan, mereka sempat membuat pernyataan yang kemudian dituding sebagai penghasutan.

“Kami sangat tertekan. Kami hanya ingin keadilan. Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” ujar Yusuf.

Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud mengatakan akan memverifikasi data kerusakan dan menyiapkan bantuan bagi nelayan terdampak. Ia juga akan memanggil pihak PHSS untuk membahas tanggung jawab perusahaan.

“Nanti kami diskusikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan PHSS yang bersinggungan langsung dengan masyarakat,” ujarnya, belum lama ini.

Rudy mengakui nelayan belum mendapat dukungan, baik dari pemerintah maupun dari perusahaan.

Langkah hukum terhadap nelayan menuai kritik keras. Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai aparat gagal membedakan antara pelaku kejahatan dan warga yang sedang membela ruang hidup.

“Polisi ini seperti masuk angin. Harusnya nelayan dibentengi imunitas, bukan dipidanakan,” katanya. Ia merujuk Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan terhadap Pejuang Lingkungan dan Pasal 28H UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Castro bahkan menduga ada pola sistematis dalam penanganan kasus ini. “Jangan-jangan ini by design, untuk mengalihkan perhatian publik dan menyembunyikan kejahatan ekologis,” ucapnya.

Kapolres sebelumnya, AKBP Alex Frestian Lumban Tobing, sempat menyatakan kedua laporan diproses bersamaan. “Penanganannya harus berimbang,” katanya. Ia mengklaim proses dilakukan komprehensif dengan melibatkan keterangan ahli. Meski mengetahui Permen LHK No. 10 Tahun 2024 tentang Anti-SLAPP, ia menekankan bahwa setiap laporan tetap harus ditimbang berdasar fakta.

Kini kasus dilanjutkan Kapolres baru, AKBP Widho Andriano. Ia menyebut masih mempelajari berkas perkara karena baru menjabat. Hingga berita ini diturunkan, proses hukum terhadap empat nelayan masih berjalan, sementara bantuan dari pemerintah masih sebatas janji.

13 kali dilihat, 13 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *