Banner Iklan

Potensi Megathrust di Selatan Jawa, KKP: Sulit Memprediksi Kapan Terjadinya

Dokumentasi - Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut, Suharyanto. Foto: Humas KKP

apakabar.co.id, JAKARTA – Potensi gempa megathrust yang akan memicu tsunami kembali mencuat, setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis penelitian terbarunya tentang tsunami yang bisa terjadi kapan saja. Hal itu sangat mungkin jika megathrust terjadi di zona merah yang terletak di Selat Sunda dan Pantai Selatan Jawa.

Simulasi menunjukkan tsunami setinggi 1,8 meter dapat mencapai pesisir Jakarta setelah megathrust benar-benar terjadi. Terkait dengan prediksi itu, Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Suharyanto, menegaskan bahwa prediksi tersebut merupakan hasil kajian ilmiah yang belum pasti terjadi.

Contoh dari pengalaman tsunami Aceh 2004, kata Suharyanto, menunjukkan betapa sulitnya memprediksi fenomena alam secara akurat.

“Megathrust baru semacam prediksi salah satu bidang keilmuan. Hal seperti ini memang jadi salah satu pertimbangan ketika melakukan perencanaan pengelolaan ruang laut,” papar Suharyanto di Media Center KKP, Jakarta, Selasa (7/1).

Literatur memperlihatkan bahwa dampak tsunami akibat megathrust, lebih signifikan di kawasan daratan pesisir, yang merupakan tanggung jawab kementerian/lembaga seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Kendati demikian, ujar Suharyanto, KKP tetap memasukkan potensi risiko tersebut ke dalam pertimbangan perencanaan ruang laut. Hanya saja, variabel yang dipengaruhi oleh fenomena alam seperti itu, sulit dikendalikan dan membutuhkan pendekatan adaptasi yang kompleks.

Berkaca dari pengalaman tsunami Aceh 2004 silam, misalnya, diprediksi tsunami juga terjadi di berbagai wilayah, meskipun pada akhirnya hanya terjadi di kawasan Simeulue.

“Ini menunjukkan betapa sulitnya memprediksi dan mengantisipasi fenomena alam seperti megathrust,” paparnya.

Upaya adaptasi terhadap risiko megathrust, terang Suharyanto, bukan hal yang sederhana karena ada banyak faktor eksternal yang sulit dikendalikan. Sementara itu, penataan ruang di daratan, mulai dilakukan berdasarkan data para pakar tata ruang, untuk mengurangi risiko bencana di sejumlah wilayah rentan.

“Yang betul-betul dari data para pakar, penyusunan tata ruang darat itu merupakan daerah yang merah,” jelasnya Suharyanto.

Untuk itu, sinergi antar-kementerian sangat diperlukan. Kolaborasi antara KKP dan kementerian terkait diharapkan bisa meminimalisir dampak bencana jika megathrust benar-benar terjadi. Sinergi menjadi kunci untuk memastikan mitigasi bencana dapat berjalan efektif.

Isu megathrust

Cuaca ekstrem dan isu gempa megathrust mempengaruhi rendahnya jumlah kunjungan wisata libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024 di Banten. Data dari Dinas Pariwisata Provinsi Banten menunjukkan penurunan jumlah wisatawan dari sekitar 344.700 jiwa pada tahun 2023 menjadi 193.309 jiwa pada tahun 2024.

Pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata, Tri Nurtopo, menyatakan bahwa jumlah wisatawan pada puncak liburan Nataru 2024 mencapai 34.969 jiwa pada tanggal 29 Desember 2024 dan 34.794 jiwa pada tanggal 1 Januari 2025.

Secara umum,tren kunjungan harian wisatawan libur Nataru 2024 bersifat fluktuatif, atau cenderung meningkat pada 1 Januari 2025. Polanya juga hampir sama dengan Nataru 2023.

“Rendahnya kunjungan wisatawan saat libur Nataru 2024 disebabkan cuaca ekstrem dan adanya isu megathrust,” ungkap Tri di Serang, Rabu (1/1).

Sementara itu, di Kabupaten Lebak tercatat kunjungan wisatawan terbanyak selama libur Nataru 2024 mencapai 51.056 jiwa. Adapun wisata pantai menjadi jenis lokasi yang paling banyak dikunjungi dengan 96.945 jiwa.

Dibandingkan tahun 2023, laporan kunjungan terbanyak terdapat di Kabupaten Pandeglang yakni 64.243 jiwa.

Selain itu, terdapat 40 kejadian wisatawan yang terbawa arus di destinasi wisata. Penurunan kunjungan ini bisa menjadi pengingat tentang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana megathrust dan cuaca ekstrem di wilayah-wilayah wisata.

37 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *