Produksi Batu Bara Digenjot, Krisis Ekologi Mengintai Kaltim

Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi untuk memulai kembali proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) melalui modal Danantara. Foto: Kementerian ESDM

apakabar.co.id, JAKARTA – Di tengah narasi besar pemerintah soal transisi energi dan pembangunan berkelanjutan, target produksi batu bara nasional justru dinaikkan.

Pada 2025, pemerintah menargetkan produksi mencapai 739,67 juta ton. Sebuah angka yang secara ekonomi menggiurkan, namun secara ekologis bisa jadi malapetaka.

Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menyebut target tersebut sebagai kebijakan simalakama.

Di satu sisi, batu bara menopang ekonomi, khususnya Kalimantan Timur yang disebut menyumbang hingga 60–70 persen sektor batu bara nasional. Namun di sisi lain, eksploitasi yang masif merusak lingkungan secara luas.

“Simalakama ya. Kalau tidak diambil, kita tidak punya duit. Harga ekspor batu bara masih di atas 100 dolar per metrik ton, itu yang menopang ekonomi. Tapi kerusakan ekologinya besar,” ujar Purwadi.

Ia menyoroti ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan visi ekonomi hijau dan ekonomi biru, sementara di lapangan tetap mengizinkan pembabatan hutan dan aktivitas tambang terbuka.

Ia mencontohkan hasil riset seorang ekonom BCA yang menyebut 80 persen mobil listrik di Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai sumber listrik.

“Berarti kan tidak konsisten. Mobil listrik digadang-gadang sebagai solusi emisi, tapi listriknya masih dari batu bara,” ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa pasar batu bara sangat fluktuatif dan dipengaruhi kebijakan global, seperti tarif ekstrem dari Amerika Serikat.

Lebih lanjut, Purwadi mengkritik pernyataan dan sikap Menteri Investasi sekaligus Plt Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang dinilai kontradiktif terhadap komitmen transisi energi.

Menurutnya, Bahlil justru membolehkan kembali eksploitasi batu bara dengan dalih negara lain pun melakukan hal serupa.

“Pak Bahlil pernah bilang, Amerika saja masih gali batu bara, kenapa kita enggak ikut. Padahal dia juga yang bicara soal ekonomi hijau, ekonomi biru, dan lingkungan bersih. Jadi ini semua cuma slogan,” ucap Purwadi.

Ia menambahkan meski pasar Amerika melorot, ada peluang ekspor batu bara ke Eropa hingga 20 tahun ke depan. “Artinya, sate jauh dari panggang. Ekonomi biru, hijau, cuma jadi jargon. Implementasinya minim,” tegasnya.

Namun, dampak ekologis dari tambang tak bisa disangkal. Ia menyebut banjir, longsor, rumah roboh, dan puluhan korban jiwa sebagai bukti nyata kerusakan akibat tambang. “Sudah 47 orang masuk lubang tambang, reklamasi pun tak jalan. Dananya entah ke mana,” ungkapnya.

Purwadi mencatat hampir semua wilayah di Kalimantan kini rawan banjir besar. Ketinggian air di beberapa titik bahkan mencapai 4 meter, seperti yang terjadi di Mahulu dan Kalantara.

“Kalimantan mana yang tidak banjir? Bontang, Sangatta, Samarinda semua kena. Mahulu sampai 4 meter, kami harus lempar nasi bungkus pakai skoci waktu itu,” kenangnya.

Dalam satu forum nasional bersama para dosen manajemen se-Indonesia yang juga dihadiri Prof. Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan dan ekonom senior UI, Purwadi menyampaikan langsung soal inkonsistensi kebijakan pemerintah soal transisi energi.

“Di ruangan itu saya bilang, kebijakan energi kita tidak selaras. Satu bicara hijau, yang lain izinkan gali batu bara,” tutupnya.

 

17 kali dilihat, 17 kunjungan hari ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *