Banner Iklan

Program Sekolah Unggulan, JPPI: Mirip Kebijakan Pendidikan Era Kolonial

Sekolah di Kecamatan Kadupandak, Cianjur, Jawa Barat, rusak akibat pergeseran tanah yang terjadi akhir tahun 2025, berharap mendapat bantuan perbaikan. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Rencana pemerintahan Prabowo Subianto membangun sekolah unggulan dan sekolah rakyat, kini ramai ditentang. Alasannya, gagasan tersebut telah melenceng jauh dari komitmen melanjutkan kebijakan pendidikan di era Joko Widodo yang dirancang menjadi lembaga yang inklusif.

Pada periode itu, sekolah di Indonesia boleh diikuti oleh siapapun, baik kaya atau miskin, berprestasi atau tidak, bahkan ada kuota afirmasi untuk anak penyandang disabilitas. Meski dalam pelaksanaannya, ada banyak kendala karena problem daya tampung yang kurang, dan mutu yang belum merata, problem itu yang seharusnya diselesaikan oleh Presiden Prabowo.

Hal itu diutarakan Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/1). Problem ketimpangan yang ada, seharusnya diselesaikan jika mengaku berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan Jokowi.

Sayangnya, di tengah upaya pemenuhan hak pendidikan dan mutu yang masih timpang, kondisinya diperparah dengan rencana penerapan kebijakan sekolah unggulan dan sekolah rakyat. Dengan munculnya dua jenis sekolah ini, kata Ubaid, sekolah menjadi institusi yang eksklusif dan hanya bisa dihuni oleh anak-anak berdasarkan kasta atau kelas sosial ekonomi tertentu.

“Kalau ini yang dilakukan, mirip dengan kebijakan pendidikan di era kolonial. Ada sekolah khusus anak keturunan penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk ningrat, dan sekolah untuk rakyat,” jelas Ubaid di Jakarta, Kamis (16/1).

Ubaid mempertanyakan, mengapa sistem kasta dan segregasi era kolonial kembali dipraktikkan di sekolah. Padahal Pasal 31 UUD 1945 menjelaskan secara gamblang tentang pentingnya penyetaraan hak semua anak Indonesia untuk pendidikan.

Nggak bahaya ta? Mengapa perintah punya ide memberikan layanan yang diskriminatif berdasarkan kasta dan prestasi?” kata Ubaid.

Karena itu, JPPI menilai sekolah unggulan berpotensi melanggar konstitusi. Kebijakan itu akan bernasib serupa dengan yang dialami Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Belum lagi, guru-gurunya akan diimpor dari luar negeri.

“Sekolah unggulan model ini dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013. Saat itu, MK menyatakan RSBI bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UUD 1945, bahwa layanan pendidikan harus berkeadilan dan dapat diakses semua anak, bukan untuk kalangan dengan ekonomi tertentu saja,” paparnya.

Sekolah unggulan, terang Ubaid, akan memperparah kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Data PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Salah satu penyebabnya, tingginya kesenjangan mutu antar sekolah di berbagai daerah.

“Jika tidak segera diatasi, maka ketimpangan ini menjadi momok dan kutukan mutu pendidikan Indonesia, yang hanya jalan di tempat. Bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan,” papar Ubaid.

Kebijakan sekolah ungulan juga melanggengkan ketimpangan kelas. Sistem sekolah yang memisahkan anak berdasarkan status sosial berpeluang memperkuat ketimpangan kelas (kasta) di masyarakat. Anak-anak dari keluarga miskin akan terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak dari keluarga mampu akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari sekolah unggulan.

“Ini akan memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada dan sulit diatasi,” tegasnya.

Hal lainnya, terjadinya diskriminasi dalam layanan pendidikan. Layanan pendidikan, kata Ubaid, seharusnya bersifat inklusif dan tidak diskriminatif. Pemisahan siswa berdasarkan latar belakang sosial ekonomi dalam layanan pendidikan menjadikan anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa mendapatkan layanan pendidikan yang setara dengan anak-anak dari keluarga kaya.

“Ini mengakibatkan perbedaan dalam kualitas pendidikan yang diterima dan peluang masa depan yang berbeda bagi masing-masing kelompok,” paparnya.

Tidak hanya itu, sekolah unggulan akan memunculkan labelisasi dan stigmatisasi yang negatif. Penamaan sekolah rakyat untuk anak miskin telah menciptakan labelisasi dan stigmatisasi negatif bagi siswa yang belajar di sana. Mereka pasti dianggap sebagai siswa ‘kelas dua’ atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan.

“Stigma ini mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka.” kata Ubaid. Jika dibiarkan, stigma tersebut justru memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, hingga memarjinalkan kelompok anak miskin dan terjebak pada siklus diskriminasi.

Untuk itu, JPPI, kata Ubaid, mengusulkan diadakannya pemetaan dan pemerataan mutu sekolah. Gagasan sekolah unggulan sebaikanya jangan diterapkan di sekolah atau wilayah tertentu saja, namun harus dibuat merata di seluruh Indonesia.

“Ini harus berbasis data dan pemetaan di berbagai wilayah, sebab terkait dengan strategi intervensi yang berbeda-beda. Jadi mestinya semua sekolah adalah unggulan untuk semua rakyat. Jangan hanya yang berprestasi secara akademik saja,” jelas Ubaid.

Harus diingat, semua anak adalah berprestasi berdasarkan potensinya yang berbeda-beda. Untuk itu, Ubaid mengingatkan, jangan hanya diukur dari sisi akademik semata.

“Konsep unggulan jangan dipisah dari rakyat. Sebab semua rakyat adalah berprestasi dan tugas pemerintah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semua,” paparnya.

Selanjutnya, Ubaid ingin memastikan semua anak mendapat jatah bangku di sekolah. Pasalnya, ada jutaan anak di Indonesia yang tidak bersekolah. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (per Januari 2025), mencatat jumlah anak tidak sekolah (ATS) sebanyak 3.846.375 anak. Ini dipicu oleh ketersediaan bangku sekolah yang tidak mencukupi, sehingga sistem PPDB menggunakan model seleksi.

“Jadi ada yang lulus kebagian bangku, dan tidak sedikit pula mereka yang tidak lulus lalu putus sekolah,” kata Ubaid.

Oleh sebab itu, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan harusnya hal itu jangan terjadi lagi di 2025. Pemerintah, menurut Ubaid, harus memastikan tidak ada anak yang tertinggal dan semua mendapatkan akses ke sekolah.

“Ini berarti menyediakan cukup tempat dan fasilitas agar anak bisa belajar dengan baik. Daerah yang tidak ada atau kurang jumlah sekolahnya, ya harus ditambah. Ini menyangkut right to education for all yang tidak bisa ditawar,” tegasnya.

Terakhir, Ubaid berharap soal alokasi anggaran yang cukup untuk penuntasan program wajib belajar. Dengan begitu, program wajib belajar yang semula 12 tahun akan ditambah menjadi 13 tahun, bisa tuntas dan bermutu.

Untuk itu, alokasi 20% dari APBN dan APBD seharusnyadiperioritaskan ke sini. “Jangan seperti periode lalu, anggaran pendidikan justru dihabiskan untuk program yang jauh dari penuntasan program wajib belajar,” kata Ubaid.

Pasalnya, belum lekang dari ingatan tentang dana pendidikan yang dimanfaatkan untuk pendanaan 24 kementerian yang bukan skala prioritas. Bahkan, anggaran pendidikan juga dialokasikan untuk sekolah-sekolah kedinasan.

“Kesalahan-kesalahan itu tidak boleh diulang lagi di tahun ini dan tahun-tahun mendatang,” pungkasnya.

262 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *