apakabar.co.id, JAKARTA – Pemerintah baru saja menerbitkan Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (Permen ESDM PLTS Atap).
Regulasi itu, dalam catatan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) telah lama menjadi sorotan, bahkan sejak dalam proses penyusunan revisi. Salah satu yang menjadi perhatian adalah hilangnya ketentuan soal ekspor listrik dalam Permen terkait.
“Padahal, aturan tersebut ditujukan untuk insentif bagi konsumen untuk mengakselerasi pengembangan panel surya di masyarakat,” kata Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL di Jakarta, Kamis (22/2).
Pasal 7 ayat (1) Permen ESDM PLTS Atap mengatur bahwa penggunaan PLTS Atap akan dilakukan melalui sistem kuota yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM berdasarkan usulan Pemegang IUPTLU di masing-masing wilayah usaha termasuk PLN.
Dengan ketentuan itu, ICEL menilai akan terdapat batasan bagi penggunaan PLTS Atap sesuai dengan kuota yang tersedia atau yang telah ditentukan.
“Apalagi, kuota ditetapkan untuk jangka waktu 5 tahun,” terangnya.
Hal itu berimplikasi pada tertutupnya akses masyarakat untuk mengembangkan PLTS Atap secara luas dan sukarela serta membatasi hak masyarakat atas penggunaan energi terbarukan, apabila tidak memperoleh kuota, akibat jumlahnya yang terbatas
Dengan ketentuan itu, ICEL menganggap regulasi yang dibangun justru menambah daftar kebijakan yang tidak mendukung pengembangan energi terbarukan, setidaknya dalam satu tahun terakhir.
Padahal IPCC telah menggarisbawahi pentingnya memangkas emisi GRK hingga 50% pada tahun 2030, yang menjadikan pengembangan energi terbarukan sebagai imperatif mengingat sektor energi merupakan sektor penghasil emisi GRK terbesar Indonesia berdasarkan data MRV KLHK pada tahun 2022.
Global Stocktake dan negara global di COP 28 juga telah mendorong peningkatan bauran energi terbarukan hingga 3 kali lipat pada tahun 2030.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Syaharani menjelaskan, di tingkat nasional, peraturan tersebut telah bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia dalam Enhanced NDC.
Di situ, Indonesia menargetkan pencapaian 15 GW energi surya atau 41% dari total target pengembangan energi terbarukan, yang ditargetkan untuk dicapai, salah satunya melalui pemanfaatan PLTS Atap.
“Patut disayangkan Revisi Permen PLTS Atap yang baru saja disahkan justru membatasi ruang bagi pengembangan PLTS Atap,” ujarnya.
Padahal, tidak hanya untuk memasifkan pengembangan energi terbarukan, pengembangan PLTS Atap harus dilihat sebagai salah satu upaya untuk menciptakan ruang pelibatan masyarakat dalam transisi energi.
“Karena itu, penting untuk meninjau kembali kebijakan ini sehingga sejalan dengan urgensi transisi energi dan juga mendorong pencapaian komitmen iklim Indonesia”, ujar Syaharani.
Lebih jauh, Permen ESDM PLTS Atap dikhawatirkan menjadi batu sandungan bagi insiatif daerah-daerah yang telah menetapkan regulasi daerah untuk mendorong pengembangan PLTS Atap sebagai upaya mempercepat pemanfaatan energi terbarukan.
Beberapa inisiatif daerah tersebut meliputi: Pergub Bali No. 45 Tahun 2019 tentang Energi Bersih yang mendorong PLTS Atap, Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 671/630/124.5/2022 tentang Implementasi Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap pada Gedung Pemerintah dan Swasta, hingga Kebijakan untuk percepatan PLTS Atap di Jawa Tengah.
Di sisi lain, pengembangan PLTS Atap perlu dilihat sebagai salah satu bentuk upaya desentralisasi dan kemandirian energi, yang merupakan salah satu kunci untuk percepatan transisi energi dan pemenuhan akses terhadap energi khususnya energi bersih.
Patut digarisbawahi sekalipun rasio elektrifikasi Indonesia telah mencapai 99,78%, setidaknya berdasarkan data Kementerian ESDM hingga akhir Desember 2023, ternyata masih terdapat 185.662 rumah tangga masih belum teraliri listrik. Mereka kesulitan mendapatkan listrik yang dilakukan dengan mengandalkan jaringan utama.
Di sisi lain, Deputi Direktur ICEL Grita Anindarini mengungkapkan, keandalan jaringan menjadi salah satu isu. Seharusnya, hal ini dapat diatasi, salah satunya, dengan memasifkan pengembangan PLTS Atap.
“Mengingat kita perlu untuk memangkas emisi global hingga 50% pada tahun 2030, pengembangan energi terbarukan secara masif menjadi salah satu aksi kunci untuk mencapainya,” terangnya.
Melalui Revisi Permen ESDM PLTS Atap ini, pemerintah, kata Grita, justru melewatkan peluang besar untuk mempercepat transisi energi serta mendorong keadilan akses atas energi bersih bagi masyarakat. Tidak hanya itu, pemenuhan akses terhadap energi juga sangat berkaitan dengan pemenuhan hak manusia dan peningkatan kualitas hidup.
“Tanpa akses terhadap layanan energi, masyarakat akan semakin rentan untuk hidup di bawah garis kemiskinan” ujar Grita.
Pada akhirnya, revisi tersebut justru membuka pertanyaan tentang kemana arah transisi energi Indonesia? Padahal data Balitbang ESDM (2021) memproyeksikan potensi sumber energi primer surya di Indonesia mencapai 3.286 GW.
“Dengan besarnya potensi tersebut, pengembangan energi surya seharusnya menjadi tulang punggung Indonesia untuk mencapai target net zero emission dan karenanya perlu didukung oleh kebijakan yang memadai,” tandasnya.