NEWS

Satu Tahun Prabowo–Gibran, YLBHI: Demokrasi Mundur, Rakyat Tertekan

Presiden Indonesia Prabowo Subianto (kiri), dan Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka. Foto: Antara
Presiden Indonesia Prabowo Subianto (kiri), dan Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka. Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat sorotan tajam dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

Dalam laporan berjudul “Lanskap Penguatan Pemerintahan Militeristik dan Otoritarian”, YLBHI menilai pemerintahan saat ini memperlihatkan pola sistematis menuju pemerintahan yang represif, otoriter, dan didominasi militer.

Ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur, menyebut satu tahun pemerintahan ini berjalan tanpa kepemimpinan yang berpegang pada konstitusi, prinsip negara hukum, hak asasi manusia (HAM), supremasi sipil, dan demokrasi. 

“Kebijakan yang diambil bukan hanya menjauh dari nilai demokrasi, tapi membahayakan masa depan negara hukum Indonesia,” ujarnya.

YLBHI mencatat kekacauan serius dalam proses legislasi dan tata kelola pemerintahan. Pembahasan revisi Undang-Undang TNI dan KUHAP dilakukan secara kilat dan tertutup, tanpa partisipasi publik yang memadai. 


DPR dan pemerintah dinilai bersekongkol dalam memperluas kewenangan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.

“Proses legislasi yang ugal-ugalan ini membuka ruang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan, menjadikan polisi sebagai institusi superior tanpa kontrol,” tulis laporan tersebut.

Alih-alih memperbaiki pelayanan publik, YLBHI menilai pemerintahan Prabowo–Gibran justru memperluas Proyek Strategis Nasional (PSN), program Food Estate, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan pembentukan Danantara — holding super besar yang mengelola 844 BUMN dengan aset mencapai US$ 1 triliun.

Kebijakan tersebut dinilai membuka ruang luas bagi keterlibatan oligarki dan militer. Di Rempang dan Merauke, pelibatan TNI dalam proyek PSN memicu penggusuran warga dan persekusi masyarakat adat. 

Dalam program MBG, anggaran ratusan triliun rupiah diserap tanpa dasar hukum yang jelas, sementara ribuan warga dilaporkan mengalami keracunan makanan akibat lemahnya pelaksanaan.

Data YLBHI menunjukkan lebih dari 60 persen penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan Bank Dunia (US$ 8,30 per hari). Di sisi lain, pemerintah menaikkan berbagai pungutan dan pajak daerah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1000% di sejumlah wilayah, untuk menutupi pembengkakan anggaran pusat.

Sementara itu, 50 triliuner Indonesia menguasai kekayaan Rp 4.857 triliun — sebagian besar dari sektor ekstraktif. “Kebijakan fiskal ini memperlihatkan wajah rezim yang gemuk di atas penderitaan rakyat,” tegas YLBHI.

Represi dan Kriminalisasi: Gelombang Terbesar Pasca Reformasi

Puncak ketegangan sosial terjadi pada Agustus 2025, saat gelombang protes terhadap kenaikan pajak meluas ke ratusan titik di Indonesia. 

Polisi menangkap sedikitnya 5.444 orang, dan 997 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. YLBHI menyebut penangkapan besar-besaran ini sebagai bentuk kriminalisasi warga terbesar pasca reformasi 1998.

Presiden Prabowo menuding demonstrasi tersebut sebagai upaya makar dan terorisme, sebuah narasi yang menurut YLBHI digunakan untuk melegitimasi perburuan aktivis oleh aparat kepolisian dan militer.

YLBHI menyoroti keterlibatan luas TNI dalam urusan sipil, mulai dari program pangan hingga pembentukan batalyon pembangunan di setiap kabupaten/kota. Jumlah personel TNI dan Komponen Cadangan diperkirakan melonjak drastis hingga lebih dari 800 ribu orang pada 2029.


Di Papua, perubahan UU TNI dan ekspansi industri ekstraktif memperburuk konflik. Sedikitnya 34 batalyon non-organik dikirim ke Papua sepanjang akhir 2024. Insiden pelanggaran HAM, termasuk penembakan warga sipil di Intan Jaya, menunjukkan pendekatan militeristik yang semakin mendominasi.

YLBHI mendesak pemerintah, DPR, dan lembaga negara lainnya untuk menghentikan pembentukan produk hukum yang sewenang-wenang, mencabut undang-undang bermasalah seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, serta menunda pembahasan RKUHAP. 

Mereka juga menuntut penghentian proyek-proyek ambisius yang mengabaikan HAM, reformasi fundamental kepolisian, pengembalian fungsi TNI pada pertahanan negara, serta penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.

“Lanskap ini menjadi pondasi rezim untuk melanggengkan kekuasaan. Artinya, penindasan terhadap rakyat Indonesia akan terus berlangsung jika tidak ada perubahan mendasar,” tegas laporan tersebut.