apakabar.co.id, JAKARTA – Pertemuan antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan Aliansi Meratus, Rabu (27/8), di Kantor Dinas Kehutanan Banjarbaru, kembali berujung pada penegasan sikap.
Masyarakat adat Dayak Meratus bulat menolak rencana penetapan Pegunungan Meratus sebagai taman nasional.
Aliansi Meratus diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, perwakilan tokoh masyarakat adat dari empat Kabupaten yaitu Balangan, Hulu Sungai Tengah, Kotabaru dan Kabupaten Banjar.
Sedangkan untuk perwakilan Kabupaten Hulu Sungai Selatan berhalangan hadir, namun sudah konfirmasi tetap menyatakan penolakan Taman Nasional.
Unsur pemerintahan terkait juga turut dalam daftar peserta di antaranya Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel, BKSDA Kalsel, BPKH Wilayah V, BPHL Wilayah IX Banjarbaru, BPDAS Barito, Balai Perhutanan Sosial Banjarbaru, KPH Balangan, KPH Hulu Sungai, KPH Kayutangi, KPH Cantung dan KPH Sengayam.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Fathimatuzzahra, mengatakan bahwa peningkatan status kawasan hutan lindung menjadi Taman Nasional ini sudah diusulkan kepada Kementerian Kehutanan sejak Oktober 2024 lalu.
Dalam prosesnya nanti ada Tim Terpadu yang melakukan tahapan teknis. Ini yang belum berjalan.
“Pembentukan Timdu (Tim Terpadu) oleh Kementerian Kehutanan ada BRIN, ULM dan dan Kementerian Kehutanan, di sinilah nanti kita akan bertemu lagi”, ujarnya.
Sebelum acara selesai, Kadis Kehutanan Kalsel juga mengingatkan dan menawarkan kembali ajakan Gubernur Kalsel, Muhidin saat aksi damai pada Jumat, (15/8) lalu terkait siapa saja dari Aliansi Meratus yang ingin diberangkatkan ke Jakarta untuk melakukan audiensi dengan Kementerian Kehutanan.
Namun, ajakan itu tak bersambut karena bagi Aliansi Meratus proses usulan adalah kewenangan Pemprov Kalsel, jika tak ada usulan pastinya Kementerian Kehutanan tak perlu menindaklanjuti.
Artinya Pemprov Kalsel harus mencabut usulan Taman Nasional ini dengan dasar adanya penolakan dari masyarakat adat Dayak Meratus.
Dalam kesempatan ini, Aliansi Meratus mempertegas kembali penolakan terhadap penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus karena bertentangan dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang ada di Pegunungan Meratus, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam ritus masyarakat adat di Meratus.
Aliansi Meratus juga memaparkan alasan-alasan penolakan dan menyerahkan dokumen Policy Brief kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel.
Rubi Ketua Pengurus Wilayah (PW) AMAN Kalsel menjelaskan dalam paparannya bahwa sejak ribuan tahun yang lalu Pegunungan Meratus sudah dihuni oleh Dayak Besar atau Dayak Bukit.
Setidaknya 20 ribu jiwa lebih mengelola hak ulayat di Pegunungan Meratus berdasarkan kearifan lokal masyarakat.
“Hutan Meratus itu selain menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat Dayak Meratus, juga menjadi faktor utama dalam pelaksanaan ritual kepercayaan kami dan menjaganya adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur kami.”, jelas Rubi.
Ia menambahkan bahwa Resolusi Meratus yaitu negara harus mengakui konsep konservasi berdasarkan kearifan lokal berbasis pengetahuan masyarakat adat.
Seperti konsep tata kelola lahan gilir balik dengan beberapa istilah Katuan, Jurungan, Mayunan dan istilah lain yang menjadi praktik baik masyarakat dalam mengelola hutan.
Jika bicara konservasi hutan, masyarakat adat sudah melakukannya dengan model ladang gilir balik untuk memberikan waktu kepada hutan sebagai metode pemulihan alami, kadang juga ditanami tanaman keras untuk memulihkan hutan dan mendukung kehidupan, Katuan sebagai wilayah hutan utuh yang tidak boleh dimanfaatkan sembarangan dan wilayah keramat yang tidak boleh diganggu sedikitpun.
Semuanya diatur dengan norma, nilai dan hukum adat yang berlaku di Masyarakat Adat Meratus. Kearifan tradisi ini harus dihargai oleh negara, dan negara pasti akan dihargai dengan model konservasi asli tanah moyangnya, bahkan di dunia Internasional.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq S.F.W mengatakan Aliansi Meratus hadir bukan untuk bernegosiasi, tetapi menyampaikan paparan penting terkait tata kelola dan tata ruang oleh masyarakat hukum adat Dayak Meratus yang sudah ada jauh sebelum negara merdeka.
“Kami menyampaikan dokumen kertas kebijakan dan dalam hal ini mendesak Pemerintah Provinsi Kalsel untuk mencabut semua proses usulan Taman Nasional ini.”, tegas Raden.
Baginya kebijakan top-down ini sangat bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat adat di Meratus.
Terutama kaitannya dengan ritus masyarakat hukum adat bahwa proses ritual dan kelola hutan bagi masyarakat adat tidak bisa dibatasi dengan batas administrasi apalagi zonasi seperti konsep Taman Nasional.
Ia juga menambahkan jangan sampai ini menjadi bentuk diskriminasi negara terhadap masyarakat adat di Pegunungan Meratus.
Kepala Adat Dayak Halong, Gupen menjelaskan bahwa hidup masyarakat adat di Meratus itu menyatu dengan alam, bersinggungan dengan alam, hutan yang menempa hidup mereka sehingga berada dan berbudaya.
“Penetapan Taman Nasional di Meratus hanya akan menjadi tantangan baru bagi kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus, akan terjadi keterbatasan aktivitas kami di sana dengan segala macam aturannya.”, tandasnya.
Dariatman dari Biro Advokasi dan Hukum PW AMAN Kalsel, mengatakan secara de jure memang masyarakat adat belum diakui, namun de facto bahwa masyarakat adat telah ada lebih dulu dari negara. Bahkan hingga hari ini.
“Kami sekali lagi ingin mengingatkan, jangan sebutkan tidak ada masyarakat adat hanya karena belum ada peraturannya. Karena ini sangat menyakiti hati kami.”, ujar Dariatman.
Ia juga menambahkan bahwa leluhur masyarakat adat Dayak Meratus juga turut berjuang dalam hal kemerdekaan negara, tetapi mereka tidak perlu label pahlawan. Mereka hanya ingin hutan itu ada seperti apa adanya.
Masuknya investasi tambang dan sawit itu juga datang tiba-tiba, masyarakat adat Dayak Meratus tidak pernah mengundang. Mereka (perusahaan) yang datang dengan dalih memperoleh izin dari Pemerintah.
Anang Suriani Tokoh Adat Dayak Pitap mengatakan Meratus tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Bahkan mereka cenderung dianggap ada hanya ketika kontestasi lima tahunan—Pemilu—berlangsung.
Padahal kata Anang, kami ada dan berada sebelum negara ini ada. Selain itu, Dayak Meratus juga memiliki nilai-nilai, seperti harmonis dengan sesama manusia, alam dan sang pencipta.
“Saat ini kami sudah nyaman dengan kehidupan kami. Kalau soal menjaga ekosistem kami masyarakat adat (Dayak Meratus) itu sudah membuktikan, makanya kami anggap Taman Nasional ini hanya menjadi ancaman.”, tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa apa yang disampaikan Kepala BKSDA Kalsel soal kelestarian ekosistem alam di Meratus seakan-akan tidak terjaga dengan adanya masyarakat adat Dayak Meratus.
Padahal menurutnya justru yang ‘menggerogoti’ hutan Meratus ini adalah kebijakan dari Pemerintah yang telah mengizinkan atau menerbitkan izin tambang dan perkebunan untuk perusahaan. Kebijakan ugal-ugalan inilah yang mestinya dilawan.
Aliansi Meratus dalam hal ini menegaskan kembali komitmen dan terus meminta dukungan semua elemen masyarakat agar bisa mendukung perjuangan penolakan Taman Nasional Pegunungan Meratus ini. Karena bentuk kekuatan rakyat hari ini salah satunya adalah solidaritas.