apakabar.co.id, JAKARTA – Lebih sebulan sudah Tragedi Muara Kate. Belum ada titik terang dalang pembunuhan tetua adat Dayak Deah, Russell, 60 tahun.
Warga pun cemas. Mereka kuatir buramnya penyelidikan karena adanya konflik kepentingan di pusaran aparat penegak hukum mengingat kasus ini beririsan dengan raksasa pertambangan.
“Kalau CCTV jadi kendala polisi, ya jelas mana ada kamera pengawas di tengah hutan (kawasan Dusun Muara Kate),” jelas Mei Christy, pendamping warga Muara Kate.
Muara Kate adalah sebuah dusun di Muara Komam, sebuah kecamatan terluar Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Jarak tempuh ke Grogot pusat daripada Paser bisa berkisar 141 kilometer. Ke ibu kota Nusantara, Penajam lebih jauh lagi; berkisar 166 kilometer.
Pun di sisi selatan dengan provinsi tetangga, Kalimantan Selatan. Jarak terdekat dengan Kota Tanjung, yang menjadi pusat Kabupaten Tabalong berkisar 219 kilometer.
“Kami dapat sinyal internet dan seluler saja sudah alhamdulillah,” kata aktivis adat satu ini.
Pembunuhan Russell terjadi pada 15 November atau setelah sebulan belakangan warga getol menolak aktivitas truk batu bara di jalan negara.
Warga kuatir kematian pendeta Veronika terulang. Mereka pun mendirikan posko di Muara Kate yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Selatan.
Sebelumnya, pendeta Veronika tewas setelah sebuah truk batu bara terguling, akhir Oktober 2024. Tak hanya Veronika. Seorang ustaz muda yang baru saja menikah juga tewas. Diduga menjadi korban tabrak lari sebuah truk batu bara.
Aksi menghalau truk batu bara sebenarnya juga dilakukan warga di Batu Kajang. Pada akhir 2023 aksi blokade dilakukan. Tak mempan. Truk-truk tambang bahkan nekat menerobos barikade warga.
Truk-truk batu bara berpelat DA (Kalimantan Selatan) ini tetap melintas demi memasok hasil tambang mereka ke pelabuhan yang ada di Desa Rangan. Sebagian besar truk-truk ini disinyalir berasal dari PT Mantimin Coal Mining (MCM).
PT MCM sendiri memiliki konsesi tak kurang dari 5 ribu hektare. Luasnya mencakup dua kabupaten di provinsi tetangga Kaltim, Kalsel. Yakni Kabupaten Balangan dan Tabalong.
Mei melihat polisi harusnya juga sudah menyelidiki adanya dugaan keterlibatan PT MCM dalam penyerangan posko warga. Dugaan bahwa PT MCM dalang di balik tragedi ini sebelumnya juga diendus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Apalagi sebelum kejadian, satu-satunya korporasi yang mengajukan izin penggunaan jalan negara sebagai lintasan batu bara, hanyalah PT MCM. Hal ini sudah dikonfirmasi lewat pernyataan Pj Bupati Paser, Syirajudin, November 2024, setelah tragedi ini.
“Jika dalam waktu dekat tidak juga kasus ini terungkap bisa jadi akan ada gerakan massa,” jelas Mei.
Tragedi Muara Kate sejatinya telah mendapat atensi Amnesty Internasional. Organisasi HAM dunia ini turut mendesak polisi mampu mengusut terang benderang kasus ini.
“Apalagi ini sudah mendapat perhatian dunia internasional. Kami akan terus menuntut keadilan,” sambung Mei.
Perhatian memang datang dari Amnesty Internasional. Namun tidak dari Komnas HAM ataupun Kompolnas. Para komisioner di dua lembaga tersebut selalu bergeming setiap media ini meminta tanggapan.
Pakar kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies memandang Kompolnas dan Komnas HAM sudah saatnya turun tangan.
Kompolnas adalah lembaga negara yang diberi kewenangan melakukan pengawasan kepada kepolisian meski tanpa kewenangan mengoreksi.
“Tapi, setidaknya Kompolnas bisa memberikan masukan pada presiden maupun kapolri terkait penanganan suatu peristiwa menyangkut peran kepolisian,” jelas Rukminto, Sabtu (21/12).
Sedangkan, Komnas HAM diberi kewenangan negara untuk mewakili dan melindungi masyarakat sipil yang merasa hak asasinya dilanggar oleh penyelenggara atau warga negara.
Upaya masyarakat di Muara Kate yang menolak aktivitas hauling jelas sebagai perjuangan menjaga ruang dan lingkungan hidup mereka. Tindakan masyarakat dilindungi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 10 tahun 2024.
“Kedua lembaga ini seharusnya segera turun tangan,” kata Rukminto.
Jika terus bergeming, Rukminto melihat wajar bila masyarakat berasumsi ada konflik kepentingan di pusaran aparat penegak hukum. Asumsi-asumsi seperti itu akan muncul bila penanganan kasus tidak responsif dan transparan. Apalagi menyangkut perusahaan tambang yang tentu mendapat izin dari pemerintah pusat.
“Dan saat ini kontrol dan pengawasan di Mabes Polri sangat lemah. Masalah kerap dikembalikan pada masing-masing Polda,” jelas Rukminto.
Lihat saja dalam beberapa kali rapat dengar pendapat terkait kasus hukum yang sedang viral di DPR RI. Hanya kapolda dan jajarannya saja yang datang memenuhi panggilan wakil rakyat di Senayan.
“Sedangkan kapolri hanya sibuk melakukan seremoni-seremoni,” kata Rukminto.
Melihat kondisi demikian, Rukminto merasa sudah saatnya perlu desentralisasi kepolisian. “Jadi masing-masing Polda dan Polres bertanggung jawab sendiri-sendiri,” kata dia.