apakabar.co.id, JAKARTA – Wacana Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud untuk mengalihkan jalur angkutan tambang dari darat ke sungai memicu kekhawatiran dari berbagai pihak.
Meski alasan efisiensi dan penyelamatan jalan negara menjadi dasar utama, para aktivis lingkungan memperingatkan bahwa keputusan ini bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan ekosistem Sungai Mahakam, khususnya habitat Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) yang kini terancam punah.
Dalam Laporan Teknis Monitoring Pesut Mahakam dan Kualitas Air 2024, Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) disebut sebagai satu-satunya lumba-lumba air tawar di Indonesia.
Hewan ini dilindungi undang-undang dan dijadikan simbol Kalimantan Timur. Namun sejak 2000, pesut masuk daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status sangat terancam punah (CR/Critically Endangered).
Koordinator Program Ilmiah Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, mengungkapkan bahwa peningkatan aktivitas tongkang di Mahakam berpotensi memperburuk pencemaran dan stres akustik terhadap pesut.
“Kualitas air sejak ada aktivitas tongkang jadi tercemar. Ada logam berat seperti tembaga dan kadmium yang membahayakan kesehatan pesut,” ujarnya baru tadi.
Ia menambahkan kapal yang menggunakan cat anti-fouling juga berisiko tinggi. “Kalau cat itu terlepas, bisa mencemari air. Belum lagi polusi suara dari kapal yang mengganggu sistem sonar pesut di bawah air.”
Penelitian menunjukkan suara di atas 80 desibel dalam air cukup untuk mengacaukan pantulan sonar pesut dan menghalangi kemampuannya menavigasi. Hal ini bisa sangat berbahaya, terutama di anak-anak sungai yang sempit.
Selain pencemaran dan gangguan sonar, lalu lintas tongkang juga dinilai melanggar aturan. Aktivitas ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 52 Tahun 2012, yang mengatur batasan ukuran kapal dan lebar sungai.
“Kalau di anak sungai, tidak ada undang-undang yang mendukung tongkang ukuran 180–300 feet lewat. Dalam aturan itu disebutkan, sungai harus minimal 250 meter lebarnya untuk dilewati kapal besar,” terangnya.
Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak juga telah memetakan wilayah konservasi pesut di Kutai Kartanegara, mencakup sungai utama, anak sungai, dan danau.
“Sudah disosialisasikan bahwa kapal besar harus lewat jalur tengah sungai, bukan pinggir. Tapi kenyataannya mereka sering lewat pinggir,” jelasnya. “Padahal itu habitat pesut dan nelayan. Banyak alat tangkap dan keramba rusak, dan pesut bisa tertabrak bahkan mati.”
Dampak wacana ini bukan hanya terhadap pesut. Ekosistem perairan terancam oleh pencemaran logam berat, gangguan sonar, perubahan perilaku, risiko kematian, hingga penurunan populasi.
Secara sosial-ekonomi, masyarakat yang menggantungkan hidup di Sungai Mahakam juga terkena imbas.
“Kami sering dengar keluhan nelayan soal keramba rusak. Kalau tongkang lewat, ikan di dalam keramba bisa stres, dan stres itu bisa sebabkan kematian ikan. Ini sudah melebihi daya dukung,” kata Danielle.
Ia berharap wacana Gubernur Rudy Mas’ud dikaji ulang. “Kalau memungkinkan, lebih baik dibuat jalan hauling daripada pakai sungai. Kami harap pemerintah mempertimbangkan agar konservasi dan ekonomi tetap seimbang,” pungkasnya.
Wacana gubernur itu juga menuai kritik dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Windy Pranata dari Divisi Advokasi JATAM Kaltim menilai kebijakan semacam ini tak boleh diputuskan sepihak tanpa melibatkan masyarakat.
“Permasalahan sebenarnya ada di rantai produksi dan distribusi sumber daya alam yang selama ini minim transparansi, bahkan tanpa keterlibatan masyarakat,” ujarnya.
Windy mengingatkan potensi risiko jika lalu lintas tongkang makin padat. Sejak Jembatan Mahakam diresmikan, tercatat sudah 23 kali insiden penabrakan oleh tongkang.
Bila angkutan sungai makin ramai, masyarakat yang menggantungkan hidup di Mahakam akan terdampak langsung. Termasuk nelayan dan petambak.
Gubernur Rudy Mas’ud menyampaikan wacana pengalihan angkutan tambang ke jalur sungai atau laut dalam pertemuan dengan pelaku tambang dan migas di Jakarta.
“Seluruh angkutan alat berat kalau bisa lewat jalur sungai atau laut, supaya tidak merusak jalan nasional maupun provinsi,” kata Rudy.
Ia menyebut kendaraan tambang yang bisa mencapai 60 ton memperparah kerusakan jalan. Rudy juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Kapolda Kaltim untuk menghentikan penggunaan jalan umum oleh kendaraan tambang.
Wacana ini didukung Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kaltim. Ketua MTI Kaltim, Tiopan H.M. Gultom menilai angkutan sungai lebih efisien.
“Satu tongkang bisa muat 3.000–4.000 ton, sedangkan truk hanya 20-an ton,” ujarnya, Jumat (27/6).
Namun, Gultom juga mengingatkan perlunya kajian teknis, termasuk soal risiko abrasi, keselamatan pelayaran, dan dampaknya pada keramba milik warga.
“Ukuran tongkang harus diperhitungkan agar tidak merusak tepi sungai,” katanya. Menurutnya, biaya kajian teknis—sekitar Rp2–5 miliar jauh lebih kecil dibanding beban kerusakan jalan yang bisa mencapai Rp2 triliun per tahun.
Sungai Mahakam disebut Rudy sebagai jalur potensial karena berstatus jalur nasional. Ia menegaskan bahwa Pemprov tetap mendukung investasi, tapi perusahaan juga harus bertanggung jawab.
“Jangan mempercepat kerusakan jalan-jalan di Kaltim,” tandasnya.