Banner Iklan

Walhi Kalsel Desak Pemerintah Hentikan Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan

Pemerintah menggadang-gadang hilirisasi nikel sebagai solusi perekonomian dan semua permasalahan di Indonesia. Foto: Vale Indonesia

apakabar.co.id, JAKARTA – Walhi Kalimantan Selatan (Kalsel) mengecam keras rencana pemerintah untuk membuka 20 juta hektar hutan demi kepentingan pangan dan energi.

Walhi Kalsel menyebutkan bahwa rencana ini adalah langkah mundur dalam upaya pelestarian lingkungan yang justru berisiko besar memicu bencana ekologis dan perubahan iklim.

Dalam siaran pers yang diterima pada Senin (13/1), Walhi Kalsel menilai bahwa pendekatan ini mencerminkan pemahaman yang salah dan berbahaya terkait kerusakan ekologis.

Pernyataan itu juga memperlihatkan watak tidak ingin belajar dari masa lalu seperti proyek lahan gambut satu juta hektar dan lahan food estate di Kalimantan Tengah yang sangat nyata kegagalannya.

Dalam konteks daerah, Kalsel juga menjadi contoh miniatur kegagalan proyek seremonial yang ugal-ugalan.

Proyek Hari Pangan Sedunia (HPS) Tahun 2018 yang dilaksanakan di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala adalah salah satunya.

Belakangan lahan pasca HPS yang dipaksa produktif waktu itu telah menjadi padang rumput atau semak belukar, artinya tidak ada agenda yang berkelanjutan setelah proyek yang menelan anggaran jumbo tersebut dijalankan.

Sebaliknya, kini Jejangkit sangat rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologis.

Selain itu, potensi konflik masyarakat petani dengan perusahaan perkebunan sawit bisa saja kembali meningkat.

Hasil analisis Walhi Kalsel bahwa produktivitas pertanian di Kecamatan Jejangkit terus menurun dalam kurun waktu tiga tahun. Pada Tahun 2020 produksi tanaman padi mencapai seluas 2.879 hektar.

Namun, pada Tahun 2021 produksi padi menurun menjadi 2.127 hektar, begitu juga di Tahun 2022 produksi padi semakin menurun drastis hanya seluas 1.104 hektar.

Belum kering di ingatan bahwa banjir besar Tahun 2021 adalah pertanda krisis ekologis semakin nyata seiring dengan aktivitas industri ekstraktif yang semakin meningkat.

Bencana tersebut juga merupakan dampak dari perubahan iklim yang menyebabkan bencana hidrometeorologi di banyak daerah.

Selain kerusakan lingkungan akan kian parah, pernyataan yang sesat pikir seperti ini jelas memalukan bagi negara yang ikut terlibat dalam perjanjian paris pada 2015 lalu dan telah diratifikasi melalui Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change(Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Di Kalsel sendiri saat ini beban izin PBPH, tambang dan sawit mencapai sekitar 2,5 juta hektar, itu lebih besar dari tutupan hutan yang hanya sekitar 716.428 hektar. Bahkan hutan primer di Kalsel hanya tersisa sekitar 49.958 hektar.

Sangat naif ketika masih meyakini bahwa hutan Indonesia khususnya Kalimantan merupakan paru-paru dunia ketika tutupan hutan terus berkurang.

Tingginya luas beban izin industri ekstraktif juga berimplikasi pada kejadian bencana seperti banjir besar yang terjadi pada Tahun 2021.

Sebab, 13 Kabupaten/Kota atau seluruh daerah di Kalsel terdampak banjir tersebut. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kalimantan Selatan mencatat sebanyak 176.290 Kepala Keluarga (KK) atau 633.723 jiwa menjadi korban, 135.656 orang mengungsi, 123.410 rumah terendam, dan 46 orang meninggal dunia. Negara menaksir kerugian sebesar Rp1,349 triliun.

Banjir 2021 dengan daya rusak terparah menyapu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), daerah yang selama ini berkomitmen untuk tidak mengizinkan tambang batubara dan sawit beroperasi.

Namun, di sisi lain ada dugaan aktivitas illegal logging yang masih marak di HST sehingga deforestasi di hulu memperparah kejadian banjir waktu itu.

Hal ini juga memicu warga HST melakukan advokasi untuk memastikan komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum pada kasus-kasus tersebut.

Bencana hidrometeorologi seperti yang terjadi pada Tahun 2021 sangat cukup menjadi alasan untuk tetap mempertahankan hutan Kalimantan.

Banyak kejadian bencana ekologi yang tak terduga seperti gempa bumi menjadi indikator bahwa harus melakukan upaya mitigasi yang komprehensif.

Walhi mendesak pemerintah untuk mengurungkan dan menghentikan proyek ambisius mempercepat laju deforestasi tersebut.

Dengan alasan pangan dan energi bukan berarti serta merta menumbalkan hutan yang juga menjadi indentitas bangsa ini.

Tanpa hutan, akan kehilangan sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang rentan dan esensial.

 

4,610 kali dilihat, 7 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *