Oleh: Syafruddin Karimi*
Perdebatan revisi RUU P2SK memunculkan gagasan agar Bank Indonesia mengambil peran lebih jauh dalam mendorong sektor riil dan penciptaan kerja. Dorongan ini lahir dari kebutuhan yang nyata: ekonomi butuh investasi yang tinggi, pembiayaan yang murah, dan pasar tenaga kerja yang menyerap.
Meski begitu, undang-undang harus merancang peran bank sentral dengan presisi. BI paling efektif ketika menjaga jangkar inflasi, memastikan sistem keuangan stabil, dan membuat transmisi kebijakan bekerja mulus ke perekonomian. Begitu mandat melebar tanpa instrumen yang memadai, kredibilitas melemah, biaya penyesuaian meningkat, dan tujuan pertumbuhan justru mundur.
Tepatkah BI Mengambil Peran Langsung ke Sektor Riil?
BI layak memperkuat pertumbuhan melalui mandat inti. Caranya jelas: menata suku bunga kebijakan yang kredibel, menjaga likuiditas yang memadai, menjalankan kebijakan makroprudensial berbasis siklus, memperdalam pasar uang dan valas, serta membangun ekosistem pembayaran digital yang efisien.
Rangkaian kebijakan ini menurunkan biaya modal, memperkaya instrumen pembiayaan, dan mempercepat transmisi kredit—semuanya mendukung sektor riil tanpa mengaburkan prioritas stabilitas harga.
Baca juga: Gerbang Baru ke Pasar Maju: IEU–CEPA dan IK–CEPA Menguji Nyali Industri RI
Penugasan eksplisit untuk “menciptakan lapangan kerja” berisiko mencampuradukkan peran. Prinsip klasik menyatakan jumlah sasaran harus setara dengan jumlah instrumen. Jika negara menambah sasaran, negara perlu menambah instrumen, proses akuntabilitas, dan garis tanggung jawab yang tegas.
Target pertumbuhan dan pekerjaan sebaiknya berpusat pada kebijakan fiskal, reform struktural, dan proyek publik, sementara BI menghasilkan lingkungan makro yang bisa dipercaya agar keputusan investasi terjadi sekarang, bukan esok.
Risiko Mandat Tambahan BI
Risiko pertama ialah mandate creep. Ketika inflasi naik dan pasar kerja melemah, BI menghadapi konflik sasaran. Pengetatan yang dibutuhkan untuk menurunkan inflasi bisa tertunda karena tekanan untuk menjaga penyerapan kerja. Penundaan seperti ini menggerus kredibilitas, membuat ekspektasi inflasi mudah terlepas dari target, dan pada akhirnya memaksa pengetatan yang lebih tajam dengan biaya output lebih besar.
Risiko kedua ialah quasi-fiskal. Program kredit sektoral yang ditempatkan di neraca BI memindahkan risiko yang seharusnya berada di APBN. Desain seperti ini mendorong alokasi kredit yang tidak efisien, menciptakan moral hazard, dan membingungkan publik tentang siapa yang menanggung kerugian. Saat risiko bertumpuk, neraca bank sentral menjadi rapuh dan sinyal kebijakan menjadi kabur.
Risiko ketiga menyentuh persepsi pasar. Investor menuntut premi yang lebih tinggi ketika melihat bank sentral diarahkan menjadi alat kebijakan industri. Konsekuensinya, biaya pendanaan swasta meningkat, volatilitas kurs bertambah, dan harga aset keuangan menjadi lebih sensitif terhadap berita politik. Semua ini berlawanan dengan tujuan menurunkan biaya modal dan mendorong investasi jangka panjang.
Pasal Pemberhentian Dewan Gubernur oleh DPR
Akuntabilitas kepada publik itu mutlak. Meski begitu, pasal yang membuka peluang pemberhentian oleh DPR tanpa kriteria yang ketat akan memunculkan kesan politisasi. Pasar akan bertanya: apakah keputusan suku bunga bertumpu pada data atau dinamika politik? Keraguan seperti ini cepat muncul di harga aset: imbal hasil SBN naik, rupiah lebih bergejolak, dan ekspektasi inflasi menjadi rapuh.
Solusinya bukan meniadakan pengawasan, melainkan memperjelas standar “for cause”. Pemberhentian harus terbatas pada pelanggaran hukum berat, konflik kepentingan serius, atau ketidakmampuan permanen; semua melalui proses yang transparan, audit independen, dan persetujuan supermajority lintas fraksi.
Tambahkan masa jeda dari jabatan politik bagi anggota Dewan Gubernur, serta larangan campur tangan pada keputusan operasional. Desain seperti ini tetap memberi DPR alat pengawasan yang kuat, sambil melindungi independensi kebijakan yang dibutuhkan agar ekspektasi pasar tetap tenang.
Rekomendasi Konkret untuk Komisi XI
Pertama, kunci mandat. Tegaskan dua sasaran terukur: stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Nyatakan dukungan terhadap pertumbuhan sebagai fungsi penopang melalui transmisi kebijakan, bukan target langsung. Dengan rumusan ini, BI fokus pada hal yang bisa dikelola lewat instrumen yang tersedia, sementara pemerintah memimpin agenda pertumbuhan melalui fiskal, industrial policy, dan reform struktural.
Kedua, bangun arsitektur koordinasi. Atur protokol konsultasi rutin fiskal–moneter, crisis playbook, dan batasan program pembelian aset. Tetapkan parameter kuantitatif, tujuan yang jelas, serta jadwal pelaporan ke DPR. Koordinasi yang tertulis rapi mencegah kebijakan saling meniadakan dan mempercepat respons saat gejolak pasar muncul.
Baca juga: Kebijakan Ekonomi Tidak Cukup Fiskal
Ketiga, pasang firewall terhadap aktivitas quasi-fiskal. Larang penugasan pembiayaan sektoral langsung di neraca BI. Jika negara membutuhkan program kredit khusus, jalankan melalui APBN, BUMN pembiayaan, atau dana pengelola dengan skema penjaminan, subsidi, dan pelaporan yang transparan. Langkah ini menjaga kejelasan peran, membatasi risiko pada institusi yang tepat, dan mempertahankan kredibilitas BI.
Keempat, perkuat akuntabilitas berbasis hasil. Wajibkan publikasi proyeksi inflasi berbasis fan chart, evaluasi kebijakan tahunan yang ditinjau pihak independen, dan hearing berkala di DPR yang fokus pada pencapaian target inflasi serta stabilitas sistemik. Sertakan target pengembangan pasar uang dan keuangan agar transmisi kebijakan semakin efektif.
Kelima, sempurnakan tata kelola Dewan Gubernur. Terapkan seleksi berbasis merit, standar integritas tinggi, pengungkapan aset dan potensi konflik kepentingan, serta masa jeda dari afiliasi komersial maupun politik. Untuk pasal pemecatan, gunakan standar “for cause” dengan persetujuan supermajority, bukan mekanisme yang mudah berubah mengikuti siklus politik.
Kesimpulan
Ekonomi menginginkan biaya modal yang turun, kredit yang mengalir ke sektor produktif, dan investasi yang berani mengambil risiko. Semua itu muncul ketika pelaku percaya pada stabilitas nominal dan kejelasan arah kebijakan. Undang-undang yang menjaga independensi BI, mempertegas mandat inti, mendorong koordinasi yang disiplin, serta menutup celah quasi-fiskal akan menurunkan premi risiko, memperkuat rupiah, dan membuka jalan bagi investasi yang menciptakan pekerjaan berkualitas.
Kekuatan BI terletak pada kredibilitasnya. Dengan merancang ulang RUU P2SK secara cermat, negara bisa memetik manfaat penuh: stabilitas yang kokoh dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas