Oleh: Syafruddin Karimi*
Indonesia memulai tahun 2025 dengan tekanan ekonomi yang nyata, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama hanya mencapai 4,87 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di angka 5,11 persen. Penurunan ini mencerminkan gabungan dari lemahnya permintaan global, gejolak kebijakan perdagangan internasional, dan pengendalian fiskal yang ketat di dalam negeri.
Secara internal, pemerintah menjalankan kebijakan efisiensi fiskal pasca pemulihan pandemi, yang berdampak pada pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Akibatnya, proyek infrastruktur daerah terhambat, belanja publik menurun, dan daya beli masyarakat desa ikut terdampak. Di saat yang sama, konsumsi rumah tangga dan investasi swasta tidak cukup kuat menopang pertumbuhan. Efek dari langkah pengendalian fiskal ini memperlemah fondasi ekonomi nasional di awal tahun.
Tekanan dari luar juga tak kalah berat. Kembalinya Presiden Donald Trump ke Gedung Putih menandai diberlakukannya kembali tarif sepihak terhadap produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Produk unggulan Indonesia seperti tekstil, karet, dan logam menghadapi hambatan ekspor ke pasar Amerika Serikat.
Baca juga: Memahami Ukuran Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
Sementara itu, mitra dagang utama Indonesia, yakni China, tengah bergulat dengan dampak perang dagang serta penguatan substitusi produk domestik. Ekspor Indonesia pun melambat dan gagal menjadi penopang pertumbuhan seperti yang diharapkan.
Dalam konteks tersebut, satu-satunya elemen ekonomi yang tetap kokoh adalah konsumsi rumah tangga. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Triwulan I-2025 menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,89 persen (yoy), dan menyumbang 2,61 poin dari total pertumbuhan 4,87 persen. Ini membuktikan bahwa lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh konsumsi domestik.
Sementara itu, kinerja komponen lainnya justru lemah. Konsumsi pemerintah tumbuh negatif, investasi hanya tumbuh 2,12 persen, dan ekspor barang serta jasa melambat. Secara kuartal, konsumsi pemerintah tercatat anjlok hingga -39,89 persen, pembentukan modal tetap bruto -7,40 persen, dan ekspor -6,11 persen. Hal ini menegaskan bahwa rumah tangga adalah satu-satunya jangkar yang menyelamatkan ekonomi nasional dari perlambatan lebih dalam.
Sayangnya, belum terlihat ada kebijakan ekonomi konkret yang mampu memperkuat atau melindungi daya beli masyarakat. Pemerintah belum memberikan intervensi fiskal yang cukup untuk memperkuat konsumsi rumah tangga, padahal komponen ini terbukti menjadi mesin utama pertumbuhan.
Baca juga: Vasektomi untuk Miskin: Kebijakan yang Menyalahi Pancasila
Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang secara eksplisit mendukung konsumsi rumah tangga. Bantuan sosial produktif, insentif fiskal untuk kelas menengah bawah, serta stabilisasi harga kebutuhan pokok harus menjadi prioritas. Jika rumah tangga kehilangan daya beli, maka ekonomi nasional benar-benar kehilangan penopang utamanya.
Rekapitulasi proyeksi pertumbuhan kuartalan tahun 2025 juga menunjukkan kecenderungan stagnasi. Pada Q1 tercatat 4,87 persen, Q2 diperkirakan 4,9–5,0 persen, Q3 mencapai puncak 5,1–5,2 persen karena konsumsi domestik, dan Q4 stabil di angka 5,0%. Dengan tren ini, pertumbuhan tahunan 2025 diperkirakan hanya 4,95 persen–5,05% persen lebih rendah dari rata-rata 2024 sebesar 5,05 persen. Ini mencerminkan bahwa tekanan eksternal dan kelemahan domestik telah menahan laju ekonomi Indonesia sepanjang tahun.
Kesimpulannya, tahun 2025 akan menjadi ujian ketahanan struktur ekonomi Indonesia. Ketergantungan terhadap konsumsi rumah tangga membuktikan pentingnya pasar domestik sebagai benteng utama melawan gejolak global. Pemerintah harus merancang strategi kebijakan yang berpihak pada penguatan daya beli dan menghidupkan kembali mesin pertumbuhan yang lain—baik investasi, ekspor, maupun konsumsi pemerintah. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa keluar dari bayang-bayang stagnasi dan kembali ke jalur pertumbuhan yang berkelanjutan.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas