Oleh: Syafruddin Karimi*
Jakarta SE Composite Index (IHSG) kembali mencatatkan performa yang memprihatinkan. Hingga 25 Maret 2025, IHSG turun ke level 6.161,218. Penurunan ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
YTD Price % Return menyentuh -12,98%, dan secara tahunan (52 Week Price % Change), pasar telah kehilangan lebih dari 16% nilainya. Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar saham berkinerja terburuk di kawasan Asia tahun ini.
Angka ini adalah sinyal keras dari pasar. Investor tidak sekadar merespons data ekonomi, tetapi juga membaca arah dan konsistensi kebijakan publik.
Ketika pasar melihat ketidakjelasan fiskal, isu pembentukan sovereign wealth fund yang kontroversial, serta spekulasi politik di sekitar elite kebijakan, kepercayaan pun luntur. Akibatnya, dana asing hengkang dan investor domestik pun memilih menunggu di pinggir lapangan.
Grafik pergerakan IHSG selama enam bulan terakhir menyajikan narasi yang lebih jujur dibandingkan pidato pejabat. Dari akhir September 2024 hingga 24 Maret 2025, indeks telah merosot dari kisaran 7.800 ke level 6.161,218.
Ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal keras bahwa kepercayaan terhadap arah kebijakan makroekonomi Indonesia tengah terkikis.
Volatilitas yang tinggi juga tercermin dari range harga yang lebar dalam satu hari perdagangan, mencapai 300 poin. Pasar tidak sedang panik, tetapi bingung. Dan kebingungan adalah musuh utama investasi jangka panjang.
Investor asing menarik dananya karena mereka melihat risiko kebijakan meningkat. Investor domestik memilih menunggu karena merasa tidak ada arah yang jelas.
Kepercayaan pasar bukan soal seberapa tinggi indeks saham, tapi seberapa konsisten dan transparan kebijakan pemerintah. Grafik ini menjadi bukti nyata bahwa tanpa konsistensi, angka-angka makro yang indah pun kehilangan maknanya. Ketika indeks terus jatuh dan rupiah terdepresiasi, sinyal ini terlalu jelas untuk diabaikan.
Dari sudut pandang ekonomi politik, grafik ini adalah cerminan hilangnya narasi tunggal dalam pengelolaan ekonomi nasional. Investor melihat adanya tarik-menarik kebijakan fiskal dan moneter yang tidak sinkron.
Bank Indonesia mencoba menjaga rupiah, namun sinyal fiskal tidak mendukung stabilitas. Maka, yang terjadi adalah koreksi terus-menerus tanpa katalis pemulihan yang kuat.
Sayangnya, kredibilitas itulah yang kini sedang diuji. Pemerintah perlu segera mengomunikasikan strategi fiskal secara transparan. Penempatan saham BUMN ke dalam Danantara harus dijelaskan dengan logika fiskal yang masuk akal, bukan sekadar jargon kelembagaan.
Di saat yang sama, Bank Indonesia harus memperkuat bauran kebijakan yang menjaga stabilitas nilai tukar dan daya tarik portofolio domestik.
Namun, grafik ini juga bisa menjadi titik balik. Pemerintah dan Bank Indonesia masih memiliki waktu untuk memperbaiki arah komunikasi.
Narasi fiskal harus dijelaskan dengan baik, program-program besar harus diberi konteks yang masuk akal, dan sinyal kebijakan harus diselaraskan antar institusi. Jika itu dilakukan, grafik ini bisa menjadi awal pemulihan, bukan akhir dari kejatuhan.
Pasar saham bukan hanya cermin ekonomi, tetapi juga barometer psikologi kolektif terhadap masa depan. Ketika indeks saham melemah tajam, itu artinya pelaku pasar meragukan prospek pertumbuhan, efektivitas belanja negara, dan arah kepemimpinan.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas