Menyulam Masa Depan Indonesia Melalui Pendekatan ‘Appreciative Inquiry’ - apakabar.co.id
Opini  

Menyulam Masa Depan Indonesia Melalui Pendekatan ‘Appreciative Inquiry’

Pemuka agama memimpin doa saat doa bersama untuk Indonesia damai di Cibinong Situ Plaza, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/9/2025). Doa bersama itu dilaksanakan sebagai kepedulian dan seruan moral atas situasi bangsa yang tengah menghadapi gejolak sosial serta meminta pengharapan kepada Tuhan agar Indonesia tetap damai dan sebagai bentuk simpati serta dukacita kepada seluruh korban dalam unjuk rasa yang terjadi di beberapa daerah. Foto: Antara

Oleh: E. Kurniawan Padma*

Indonesia, negeri dengan lebih dari 270 juta jiwa, tidak pernah sepi dari riak. Hampir setiap hari, ruang publik kita dipenuhi riuh politik, perdebatan di media sosial, hingga kontroversi kebijakan, terutama apa yang terjadi di hari-hari terakhir ini.

Kadang kita merasa lelah, seolah bangsa ini berjalan dari satu kegaduhan ke kegaduhan lain, tanpa henti.

Namun, riak yang terjadi sejatinya bukan hanya keributan tanpa makna. Ia adalah cermin yang memperlihatkan masalah mendasar yang belum selesai: ketidakadilan, korupsi, ketimpangan, hingga kurangnya ruang dialog. Jika mau jujur, riak adalah “alarm sosial” yang mengingatkan kita bahwa ada yang harus dibenahi.

Ada pendekatan yang menarik untuk membaca situasi saat ini, yaitu appreciative inquiry (AI). Pendekatan ini mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat sisi negatif dari sebuah masalah, tetapi juga menggali kekuatan dan peluang di baliknya.

Melalui pendekatan AI, kita diajak untuk melihat sisi lain dari setiap riak. Alih-alih hanya menyoroti sisi gelapnya, AI mengajarkan kita untuk menggali kekuatan, menemukan peluang, dan mengubah riak menjadi energi positif bagi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik dan tangguh untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia.

Sebagai Cermin

Setiap riak pastinya lahir dari sebab. Ketika masyarakat gaduh soal korupsi, itu adalah cermin keresahan terhadap lemahnya integritas pemimpin. Saat publik gaduh soal ketidakadilan, itu adalah tanda bahwa ada suara yang belum didengar. Dan ketika kebijakan menimbulkan perdebatan, itu menandakan ruang demokrasi masih hidup.

Dengan kacamata apresiatif, riak dapat kita maknai sebagai alarm sosial. Ia bukan sekadar keributan tanpa makna, melainkan sinyal bahwa bangsa ini masih memiliki energi untuk peduli, bersuara, dan berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah bersama.

Baca juga: Jangan Lelah dan Putus Asa Mencintai Indonesia

Di tengah dinamika tersebut, ada nilai-nilai positif yang terus muncul di masyarakat Indonesia, yaitu tentang solidaritas sosial, keberanian bersuara dan ketangguhan bangsa.

Dalam banyak peristiwa, kita bisa melihat betapa kuatnya kepedulian rakyat terhadap kondisi bangsa ini. Riak-riak yang muncul itu juga menandakan bahwa masyarakat tidak diam, tetapi ingin memperjuangkan keadilan.

Kita juga menjadi saksi betapa tangguhnya bangsa ini, meski berulang kali diterpa konflik, selalu mampu bangkit dan melanjutkan langkahnya.

Inilah modal sosial yang sering kali terabaikan di balik riuh riak yang menimpa bangsa ini, terutama pada beberapa pekan terakhir ini.

Menenun Harapan

Dari pengalaman menghadapi masalah tersebut, lahirlah harapan akan Indonesia yang lebih tenang, adil, dan bermartabat. Harapan tentang kepemimpinan yang bersih dan berintegritas, tentang masyarakat yang menghargai perbedaan sebagai kekuatan, dan tentang kebijakan publik yang lahir dari dialog, bukan dominasi.

Inilah saatnya memberi ruang bagi para pemimpin yang kredibel dan berkarakter untuk tampil di panggung strategis bangsa, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun di institusi negara dan BUMN. Kita perlu melampaui praktik balas jasa, dan mulai menempatkan kapasitas serta integritas sebagai syarat utama kepemimpinan.

Kita juga perlu membangun masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman, mengutamakan persatuan, dan melihat nilai tambah dari keragaman budaya, agama, dan pandangan.

Baca juga: Hak Budget DPR dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Kebijakan publik yang lahir dari proses dialog, bukan dominasi, akan memiliki kekuatan moral dan legitimasi sosial, karena ia tumbuh dari mendengarkan, mengakomodasi, dan mencari titik temu. Kebijakan yang dibuat dengan dialog mencerminkan kedewasaan sebuah bangsa.

Demikian juga keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila, harus benar-benar dirasakan hingga ke pelosok negeri. Bukan sekadar slogan, tetapi hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari, menjangkau setiap jengkal tanah dan setiap warga negara tanpa terkecuali.

Bayangan ini bukan utopia. Ia bisa diwujudkan jika kita belajar dan bertindak berdasarkan pelajaran dari kegaduhan yang ada.

Jalan Baru

Refleksi tanpa aksi akan kehilangan makna. Untuk menjadikan riak sebagai energi perubahan, ada langkah yang bisa ditempuh, di antaranya membiasakan dialog sehat. Perbedaan pandangan tidak harus berujung konflik, tetapi bisa menjadi sumber gagasan.

Menanamkan integritas sejak dini. Pendidikan harus melahirkan generasi yang jujur, adil, dan berani menolak korupsi. Mendorong kepemimpinan yang kredibel. Bangsa ini membutuhkan pemimpin teladan, bukan sekadar penguasa.

Menguatkan partisipasi masyarakat. Publik harus dilibatkan dalam pengawasan, agar pembangunan berjalan transparan dan adil.

Pada akhirnya, riak bukanlah musuh. Ia adalah bagian dari proses tumbuh. Bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa masalah, melainkan bangsa yang mampu belajar dari masalah dan menjadikannya pijakan untuk melangkah lebih jauh.

Dari riak, kita belajar arti persatuan. Dari riak, kita menemukan keberanian untuk berubah. Dan dari riak, kita bisa menenun kembali harapan, menyulam masa depan Indonesia yang lebih damai, adil, dan bermartabat.

Sebagai penutup, Indonesia bukan hanya cerita tentang kegaduhan, termasuk riak di dalamnya, tetapi juga tentang kebangkitan.

Baca juga: Ojol di Panggung Politik, Pengemudi Konvensional di Pinggir Jalan

Jika kita mampu melihat dengan kacamata apresiatif, setiap riak dapat diubah menjadi energi positif. Maka, mari bersama-sama menjadikan riak bukan sebagai alasan untuk pesimis, melainkan sebagai jalan belajar menuju Indonesia yang lebih baik.

Melalui fenomena yang terjadi pada hari-hari terakhir ini kita akan memiliki tiga pilihan. Pertama, kita bisa memilih dari riak menjadi victim atau mentalitas korban, yaitu pola pikir yang terus-menerus merasa diri sebagai korban dari situasi atau tindakan orang lain, menyalahkan pihak eksternal, dan merasa tidak memiliki kendali atas hidup,

Kedua, kita bisa memilih dari riak kita menjadi camper, yaitu mentalitas yang hanya sekedar dapat bertahan dari situasi yang terjadi.

Ketiga, kita bisa memilih dari riak menjadi surfer, bukan istilah baku, tetapi sering diartikan sebagai mentalitas atau cara berpikir seperti seorang peselancar.

Ini merujuk pada kemampuan untuk belajar, menikmati, dan menghadapi gelombang (masalah atau tantangan) dalam kehidupan dengan kesadaran dan penerimaan bahwa riak dan gelombang ini juga yang akan menuntun kita menuju tepian.

Kita meyakini bahwa setiap gelombang akan berlalu dan ada gelombang lain yang akan datang untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik, khususnya menjadi bangsa yang tangguh yang mampu mewujudkan cita-cita untuk menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, makmur, dan berkelanjutan pada peringatan 100 tahun kemerdekaannya di tahun 2045.

*) Presiden Emil Salim Institute dan mahasiswa program doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *