OPINI
Depresiasi Rupiah, Fundamental Ekonomi dan Sentimen Pasar

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*
Depresiasi mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dan mata uang emerging market economies (EMEs) di Asia dipengaruhi oleh faktor sentimen negatif pelaku pasar akibat kenaikan US Dollar Index. Indeks ini mencerminkan penguatan atau pelemahan nilai tukar Dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia.
US dollar index diperkenalkan pertama kali oleh The Federal Reserve, bank sentral AS pada tahun 1973. US dollar index dibangun dengan mengacu pada enam mata uang utama dunia, yaitu: Euro dengan bobot 57,6 persen, Yen Jepang 13,6 persen, Poundsterling Inggris 11,9 persen, Krona Swedia 4,2 persen dan Franc Swiss 3,6 persen.
US dollar index mengalami kenaikan selama sebulan terakhir, yaitu dari titik terendah sebesar 96,452 pada 18 September 2025 hingga titik tertinggi sekitar 98,564 pada 25 September 2025. Selanjutnya, hingga 2 Oktober 2025 indeks Dolar AS menurun menjadi 97,892, yang mencerminkan bahwa mata Dolar AS kembali melemah terhadap enam mata uang utama dunia.
Kecenderungan ini mencerminkan bahwa pada awalnya mata uang Dolar AS melemah terhadap enam mata uang utama dunia lalu mengalami apresiasi pada 25 September 2025. Selanjutnya, hingga saat ini, posisi dolar AS terus mengalami fluktuasi untuk kembali ke keseimbangan baru.
Tren peningkatan US dolar index sejalan dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, yaitu berada pada titik terlemah sebesar Rp. 16.765, 3 per Dolar AS pada 25 September 2025. Saat ini, nilai tukar rupiah per Dolar AS berfluktuasi menuju keseimbangan baru sekitar Rp. 16.600 – 17.000 per Dolar AS.
Secara internal, pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS dipengaruhi oleh faktor fundamental, dalam hal ini indikator makro ekonomi nasional, seperti inflasi, pertumbuhan jumlah uang beredar (JUB) yang mencerminkan likuiditas perekonomian, pertumbuhan ekonomi, defisit fiskal, dan BI rate sebagai suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan moneter.
Fenomena pelemahan rupiah terhadap Dolar AS dapat dijelaskan dengan menggunakan flexible price monetary model (FPMM). FPMM menghubungkan antara fluktuasi suatu mata uang dengan perbedaan pertumbuhan JUB, perbedaan pertumbuhan ekonomi, perbedaan suku bunga riil antara Indonesia dengan AS.
FPMM menyebutkan bahwa perbedaan pertumbuhan JUB antara Indonesia dengan AS dapat menyebabkan fluktuasi nilai tukar rupiah per Dolar AS. Dimana, pertumbuhan JUB Indonesia yang lebih besar dibanding pertumbuhan JUB AS akan menyebabkan mata uang rupiah terdepresiasi terhadap Dolar AS.
Demikian juga dengan kenaikan harga atau inflasi di AS dapat membuat mata uang rupiah mengalami apresiasi (menguat) terhadap Dolar AS. Jika asumsi purchasing power parity (PPP) terpenuhi maka besarnya kenaikan inflasi di AS akan proporsional terhadap besarnya apresiasi rupiah terhadap Dolar AS dengan asumsi bahwa inflasi domestik tidak berubah.
Hal yang sama juga terjadi jika real interest rate (suku bunga riil) mengalami kenaikan, yaitu peningkatan selisih antara suku bunga nominal dengan inflasi. Dimana, kenaikan suku bunga riil membuat capital account (CA) surplus, terjadi kenaikan pendapatan yang selanjutnya menyebabkan penguatan mata uang rupiah terhadap Dolar AS.
Artinya, jika inflasi secara nasional mengalami penurunan maka suku bunga riil naik. Hal ini membuat neraca modal surplus yang menyebabkan pendapatan naik dan selanjutnya membuat mata uang rupiah terapresiasi terhadap Dolar AS.
Selain faktor fundamental, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS juga dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku usaha terhadap perekonomian nasional yang tercermin pada rasio defisit fiskal terhadap Gross Domestic Product (GDP).
Defisit fiskal yang semakin lebar, yaitu dari sekitar 2,3 persen terhadap GDP tahun 2024 dan diperkirakan meningkat menjadi 2,78 persen terhadap GDP tahun 2025 memberikan sentimen negatif pasar terhadap nilai tukar rupiah per Dolar AS. Dimana, defisit fiskal yang semakin lebar mengindikasikan ketidakberlanjutan fiskal.
Sentimen negatif pasar terhadap mata uang rupiah dipicu oleh defisit fiskal pada tahun 2025 yang diperkirakan sebesar 2,78 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata rasio defisit fiskal terhadap GDP sebesar 1,65 persen dalam 36 tahun, selama periode 1988 – 2024.
Demikian juga dengan besaran rasio utang terhadap GDP. Dimana, semakin besar rasio utang terhadap GDP maka semakin kuat sentimen negatif pasar terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Hal ini berkaitan dengan isu debt sustainability (keberlangsungan utang), yaitu kemampuan pemerintah untuk membayar utang pokok dan bunganya.
Faktanya, dalam lima tahun terakhir rasio utang terhadap GDP mendekati 40 persen, yaitu sebesar 41,1 persen tahun 2021, 39,7 persen 2022, 39,2 persen 2023 dan sebesar 38,8 persen 2024. Artinya, rasio utang terhadap GDP Indonesia semakin menuju angka psikologis 60 persen sebagai batas atas utang yang dianggap aman.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS tidak terdeprisiasi ekstrim? Langkah yang dapat dilakukan adalah menjaga agar suku bunga riil Indonesia lebih besar dibandingkan dengan AS.
Hal ini bisa dicapai dengan dua cara, yaitu: pertama, melakukan relaksasi suku bunga acuan (BI rate) secara terukur dengan tetap memperhatikan tren relaksasi suku bunga acuan (policy rate) secara internasional, khususnya relaksasi suku bunga bank sentral AS. Dalam hal ini Federal Fund Rate (FFR).
Langkah kedua, menjaga agar inflasi Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan inflasi AS. Saat ini, inflasi Indonesia pada September 2025 sekitar 2,65 persen secara tahunan (year on year) lebih rendah dibandingkan inflasi AS pada Agustus 2025 sekitar 2,9 persen. Diperkirakan oleh lembaga trading economics, inflasi AS pada September 2025 lebih rendah dari Agustus 2025, yaitu sebesar 2,7 – 2,8 persen.
Sejalan dengan FPMM, BI harus mengelola likuiditas perekonomian nasional agar pertumbuhan money supply (JUB) nasional lebih rendah dibandingkan pertumbuhan JUB di AS. Kenaikan JUB yang tidak terukur akan berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.
Menjaga momentum ekspansi perekonomioan nasional yang ditunjukkan oleh peningakatn pertumbuhan ekonomi nasional pada kwartal kedua 2025 sebesar 5,12 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kwartal pertama 2025 yang hanya 4,87 persen secara tahunan.
Hal ini kontras dengan pertumbuhan ekonomi AS pada kwartal kedua 2025 yang hanya 2,1 persen. Pertumbuhan ekonomi AS pada kwartal kedua 2025 mengalami ekspansi dibandingkan kwartal pertama 2025 yang hanya 2,0 persen.
Sementara pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2025 secara tahunan diperkirakan sekitar 1,8 persen. Hal ini lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan sebesar 4,8 – 5,4 persen pada tahun 2025.
Akhirnya, mengingat fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS lebih banyak disebabkan oleh faktor persepsi atau sentimen pasar terhadap perekonomian nasional, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta untuk memperbaiki komunikasi publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas kebijakan untuk mengurangi premi risiko dan persepsi risiko terhadap perekonomian nasional.
*) Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015-2018

Editor: Bethriq Kindy Arrazy