NEWS
MK Larang Polisi di Jabatan Sipil, ISESS: Tapi TNI Nambah
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil menuai apresiasi. Langkah serupa juga perlu diberlakukan bagi TNI agar penegakan hukum dan prinsip netralitas aparatur negara berjalan konsisten.
apakabar.co.id, JAKARTA — Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri dari dinas. Rukminto menyebut putusan tersebut sebagai langkah penting untuk mengembalikan Polri ke “khittah”-nya sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Sejak awal, penempatan personel Polri di luar struktur tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” ujar Rukminto kepada media ini, Kamis siang (13/11).
Sudah bertahun-tahun Rukminto menyoroti persoalan ini. Menurutnya, frasa penugasan Kapolri yang selama ini dijadikan alasan penempatan anggota Polri di luar institusi, sudah melanggar prinsip tata urutan peraturan perundang-undangan. Dalam sistem hukum Indonesia, berlaku asas lex superior derogat legi inferiori, di mana aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah.
“Artinya, peraturan Kapolri atau bahkan peraturan presiden tidak bisa bertentangan dengan undang-undang. Dan keputusan MK ini sudah menegaskan hal itu,” ucapnya.
Rukminto menambahkan Pasal 31 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa penjelasan dalam suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan batang tubuhnya. Jika bertentangan, maka yang berlaku adalah isi utama undang-undang tersebut.
Dengan demikian, kata dia, semua anggota Polri yang saat ini menduduki jabatan sipil harus segera ditarik atau diberi opsi untuk mengundurkan diri, pensiun dini, atau beralih status menjadi ASN di kementerian atau lembaga terkait. “Itu harus bisa dilakukan, meskipun secara bertahap,” tegasnya.
Ia juga menyoroti praktik selama satu dekade terakhir, di mana Polri kerap terjebak dalam permainan politik kekuasaan. “Penempatan personel di luar struktur sering kali dijadikan alat untuk mengkooptasi Polri. Kewenangan besar yang dimiliki institusi ini membuatnya rawan dijadikan instrumen kekuasaan,” kata Rukminto.
Ironisnya, di saat Polri dilarang menduduki jabatan sipil, TNI justru mendapatkan perluasan penempatan personel aktif di 14 lembaga sipil melalui revisi UU TNI 2025.
“Sekarang MK melarang Polri, tapi TNI malah ditambah. Kalau konsisten menegakkan prinsip yang sama, seharusnya TNI juga dievaluasi,” ujarnya.
Rukminto menegaskan putusan MK tidak akan otomatis berdampak pada TNI karena dasar hukumnya berbeda. Namun, publik tetap bisa mendorong uji materi terhadap revisi UU TNI tersebut agar prinsip netralitas aparatur negara berlaku setara.
“Kalau tidak, negara ini akan kembali ke pola lama seperti era Orde Baru. Dwi fungsi ABRI dulu kan berawal dari pembenaran serupa, mengaburkan batas antara militer, kepolisian, dan sipil,” tuturnya.
Ia menutup dengan menegaskan pentingnya Polri untuk kembali ke jati diri institusionalnya. “UU Polri sudah jelas, anggota hanya boleh duduk di jabatan di luar kepolisian setelah mundur atau pensiun. Itulah khittah-nya, dan itu yang harus ditegakkan.”
Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi berlaku. Putusan ini menegaskan, anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari dinas.
Dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Kamis (13/11/2025), Mahkamah menilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka celah praktik dwifungsi Polri dalam pemerintahan sipil.
Gugatan diajukan dua warga, Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menilai pasal itu selama ini memberi jalan bagi perwira aktif menempati jabatan sipil seperti Ketua KPK, Kepala BNPT, hingga Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melepas statusnya sebagai polisi.
Editor:
FARIZ FADHILLAH
FARIZ FADHILLAH
