OPINI

Pembangunan Indonesia di Antara Sosialisme dan Kapitalisme

Ilustrasi kapitalisme. Foto via Indoprogres
Ilustrasi kapitalisme. Foto via Indoprogres
Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*

Ekonom Keyu Jin, pemikir brilian berkewarganegaraan China, professor ekonomi dari London School of Economics (LSE) menulis buku berjudul ‘The New China Playbook, Beyond Socialism and Capitalism” yang terbit tahun 2024. 

Dalam bukunya, Keyu Jin menyampaikan perbedaan pandangannya tentang pembangunan ekonomi China kepada pemikir-pemikir ekonomi di barat, termasuk kepada tiga pemenang nobel ekonomi tahun 2024, yaitu: Daron Acemoglu dan Simon Johnson dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), USA, serta James A. Robinson dari University of Chicago, IL, USA.

Ketiga pemenang nobel ekonomi di atas berpandangan bahwa perbedaan negara terkebelakang dan maju terletak pada institusi ekonominya. Negara terkebelakang memiliki institusi yang bersifat ekstraktif, yaitu sistem ekonomi dan politik yang terpusat. 

Sementara, negara kaya memiliki institusi yang inklusif, yaitu institusi yang demokratis sehingga memberikan manfaat kepada semua kelompok masyarakat. Dimana, pemimpinnya dipilih secara demokratis, menghargai kebebasan individu, menegakkan rule of law dan lainnya. 
Ketiga pemenang nobel ekonomi tahun 2024 berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi negara dengan institusi ekonomi yang ekstraktif, hingga pada titik tertentu akan berhenti. Sama seperti China yang institusinya bersifat ekstraktif pada titik tertentu akan stagnan.  

Keyu Jin menceritakan dalam bukunya bahwa pertanyaan paling banyak disampaikan kepadanya dari teman-teman sekelasnya di Harvard University, AS adalah “When will china become a democracy? How do you wake up in the morning knowing that you can’t elect your own president? When will china economy stop growing?

Secara ekstrim, pemikir-pemikir Eropa dan AS berpandangan bahwa pembangunan ekonomi China akan gagal jika tidak mentransformasi ekonominya berdasarkan western value (nilai-nilai ekonomi barat), termasuk menyesuaikan dengan sistem ekonomi dan politik barat.

Namun, model pembangunan China tidak bisa dinilai dari sudut pandang kapitalisme dan sosialisme. Menurut Keyu Jin, model China lebih cocok disebut sebagai Marxisme yang bermetamorfosis sesuai dengan nilai-nilai dan budaya China. 

Pembangunan ekonomi China dalam pemikiran Keyu Jin tidak sama dengan kapitalisme atau sosialisme. Model China lebih cocok disebut managed capitalism atau mayor economy. Dalam pandangan yang lebih luas, model China adalah kapitalisme dengan karakteristik nilai dan budaya China. 
Secara umum, model free market economy dalam pembangunan ekonomi barat mengutamakan peran mekanisme pasar yang didominasi oleh private sector (swasta) dan konsumen. Sementara, pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal, moneter, dan pengaturan sistem keuangan berperan lebih kecil. 

Selanjutnya, China Hybrid Economy dalam pandangan Keyu Jin lebih mengutamakan peran pemerintah (mayor economy) melalui instrumen kebijakan fiskal, moneter, kebijakan industri yang terkendali, pengaturan sistem keuangan (menganut capital control), pembiayaan oleh negara, dan mengutamakan peran State Own Entreprises (SOEs). 

Model ekonomi hybrid ala China memberikan peran lebih kecil kepada private sector (sektor swasta) dan konsumen. Sehingga, model ekonomi China menggabungkan antara mayor economy dengan ekonomi pasar (market economy). 

Secara spesifik, model ekonomi China tidak persis sama dengan sosialisme dan kapitalisme, seperti yang dapat diamati dalam lima isu berikut, yaitu: pertama, kepemilikan pribadi yang sangat kuat di negara kapitalis tetapi lemah di negara sosialis. Namun, dalam model China, negara sangat memproteksi kepemilikan pribadi. 

Kedua, dalam hal inisiatif swasta untuk melakukan penelitian dan mengambil keputusan strategis di negara kapitalis sangat dihargai, tetapi dikendalikan oleh pemerintah di negara sosialis. Dalam model China, inovasi menjadi penggerak utama perekonomiannya. Bahkan, saat ini, China menjadi negara dengan pendaftaran paten terbesar di dunia.
Ketiga, demikian juga dengan penghargaan terhadap entrepreneur sangat kuat di negara kapitalis dan tidak signifikan di negara sosialis. Namun, dalam model China, negara sangat menghargai entrepreneur. 

Keempat, dalam hal persaingan (competition) yang didorong oleh proses destruksi kreatif (creative destruction) juga sangat kuat di negara kapitalis dan lemah di negara sosialis. Tetapi dalam model China, penghancuran kreatif menjadi fondasi ekonomi China. 

Kelima, pembiayaan proyek dalam negara kapitalis sangat fleksibel dan berbasis pasar. Sementara model sosialis mengandalkan negara. Namun, di China, pembiayaan dilakukan oleh private sector tetapi perencanaan serta mobilisasi sumber daya didominasi oleh negara. 

Lalu, apa yang bisa dipelajari oleh pemerintah Indonesia dari model hybrid economy ala China? Kita perlu menyimak kata-kata pemimpin tertinggi China, Deng Xiaoping, 1978, “It doesn’t matter whether the cat is black or white, as so long it chates mice”. 

Pemerintah Indonesia perlu belajar kepada pemerintah China, membangun ekonomi nasional dengan model sosialisme atau kapitalisme sesuai dengan nilai dan budaya Indonesia, yaitu hybrid economy ala Indonesia. Dan, model ini relevan dengan founding father negara Indonesia, Mohammad Hatta, dengan sosialisme Indonesia. 
Salah satu yang sangat sesuai dari hybrid economy ala China dengan Indonesai saat ini adalah model perencanaan ekonomi terpusat tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan secara terdesentralisasi. 

Pemerintah Indonesia dapat mengkombinasikan antara pengendalian oleh negara pada level makro dan mengutamakan mekanisme pasar pada level mikro. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China yang membatasi persaingan di industri mobil listrik karena mengarah ke involutionary competition (race to the bottom) yang berpotensi merusak ekosistem mobil listrik secara keseluruhan. 

Akhirnya, dalam konteks mendorong industrialisasi, pemerintah Indonesia dapat meniru model China, dimana perencanaan industri ditetapkan oleh pemerintah, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau private sector.

*) Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Ketua KPPU RI 2015-2018