OPINI
Demokrasi, Socrates, COVID-19, dan Bumi Datar
Oleh: Dewanto Samodro*
Demokrasi saat ini dipandang sebagai sistem politik yang paling ideal karena menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan.
Demokrasi memungkinkan rakyat memilih pemimpin secara langsung ataupun melalui perwakilan, serta mengontrol kekuasaan pemerintah melalui mekanisme akuntabilitas dan pembagian kekuasaan melalui Trias Politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Hampir semua negara di dunia saat ini mengklaim menganut sistem demokrasi, meskipun dalam bentuk dan kualitas yang berbeda-beda. Bila mendasarkan pada definisi demokrasi yang meliputi pemilihan umum yang bebas dan adil serta perlindungan hak asasi manusia, sekitar 119 dari 192 negara di dunia atau sekitar 62 persen dapat dikategorikan sebagai demokrasi, dengan 85 di antaranya memenuhi standar demokrasi liberal (Warren, 2002)
Sementara itu, Paldam (2025) menyebut hanya ada 38 negara yang dianggap sudah mencapai demokrasi penuh hingga 2018, meskipun tidak secara spesifik menyebutkan 38 negara tersebut. Paldam menggunakan dua indeks penilaian, yaitu polity (P) dan polyarchy (V) dengan skala, dari otoriter, hingga demokratis.
Skor polity lebih dari 7 dan polyarchy lebih dari 0,7 menunjukkan suatu negara telah menyelesaikan transisi mendalam dari masyarakat tradisional yang otoriter ke masyarakat modern yang demokratis, didukung fondasi ekonomi yang kuat.
Banyak negara di dunia mengadopsi sistem demokrasi karena dianggap sebagai sistem yang paling mampu menampung keragaman, mencegah tirani, dan memberikan legitimasi yang kuat kepada pemerintahan. Selain itu, demokrasi sering dikaitkan dengan stabilitas, pelindungan hak, dan peluang pembangunan yang lebih baik.
Banyak pemikir politik menyebut demokrasi adalah sebuah kondisi ideal yang tidak akan pernah sepenuhnya terwujud dalam praktik karena akan selalu ada tantangan dari dominasi elite, apatisme politik, dan pelindungan minoritas yang belum sempurna.
Sejak masa Yunani Kuno, Socrates yang dianggap sebagai salah satu pendiri filsafat Barat, menilai demokrasi sebagai sistem yang memungkinkan orang-orang tanpa pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral memegang kekuasaan. Tanpa kebijaksanaan, pengetahuan, dan integritas moral; demokrasi akan jatuh dalam populisme dan ketidakadilan.
Menurut Socrates, politik adalah bidang yang memerlukan keahlian khusus, layaknya profesi lain. Karena itu, dia mengusulkan sistem epistokrasi atau pemerintahan oleh para ahli/filsuf. Dia percaya hanya mereka yang memahami kebaikan, keadilan, dan memiliki pengetahuan mendalam yang layak memimpin negara.
Socrates juga mengkritik sistem demokrasi yang memungkinkan semua warga negara memilih pemimpin, tanpa kecuali. Menurut dia, mayoritas warga negara tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral yang cukup untuk memilih pemimpin dan menentukan kebijakan publik secara bertanggung jawab. Pemilih akan mudah terpengaruh oleh opini populer, retorika, dan kepentingan sesaat; bukan oleh pertimbangan rasional atau kebaikan bersama.
Kritik Socrates terhadap sistem demokrasi perlu menjadi refleksi bagi kita semua, terutama yang memilih dan menganggap demokrasi adalah sistem politik yang paling memungkinkan untuk dijalankan saat ini. Kritik Socrates menekankan pada pendidikan, terutama pendidikan politik terhadap seluruh warga negara, agar pemilih memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral untuk memilih pemimpin dan ikut menentukan kebijakan publik secara bertanggung jawab.
Pemikiran Socrates tersebut juga perlu menjadi alarm untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan elite-elite politik yang berkepentingan dan mengatasnamakan demokrasi sengaja membiarkan rakyat dan pemilih tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral agar lebih mudah mereka kendalikan. Bila rakyat dan pemilih dapat dikendalikan, maka demokrasi akan dapat mereka kendalikan.
Upaya elite politik global menunggangi demokrasi untuk mendapatkan kekuasaan dapat dilihat dari berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat. Terdapat upaya-upaya memutarbalikkan logika masyarakat dengan mendelegitimasi ilmu pengetahuan yang sudah mapan. Salah satunya adalah dengan menyebut bahwa ilmu pengetahuan saat ini dikuasai oleh elite global untuk mencuci otak masyarakat melalui pemikiran-pemikiran dan teori-teori yang diajarkan di sekolah.
Mereka menyebarkan pseudosains dan logical fallacy untuk membantah teori-teori yang diajarkan di institusi pendidikan. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang melahirkan media digital memudahkan mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran itu melalui media sosial secara global.
Salah satu pemikiran yang mereka sebarkan adalah bahwa makhluk mikroskopis yang disebut virus, sejatinya tidak ada dan tidak pernah ada. Menurut pemikiran mereka, virus adalah konspirasi yang sengaja diciptakan untuk menakuti-nakuti agar rakyat lebih mudah dikendalikan.
Berangkat dari pemikiran itulah kemudian muncul orang-orang yang antivaksin. Kejadian ikutan pascaimunisasi, seperti anak demam, mereka jadikan sebagai salah satu “bukti” bahwa vaksin adalah konspirasi.
Pandemi COVID-19 pun mereka anggap sebagai hoaks dan konspirasi karena virus tidak pernah ada. Sebanyak 7.101.788 kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diperbarui 15 Oktober 2025, mereka anggap hanyalah konspirasi.
Pemikiran lain yang mereka sebarkan adalah teori Bumi datar, bertentangan dengan teori bumi bulat yang secara ilmiah sudah terbukti. Salah satu argumentasi mereka adalah permukaan air selalu datar dan air laut terlihat datar sehingga Bumi adalah datar.
Mereka akan menolak segala argumentasi ilmiah dan mengandalkan logika mereka saja. Logika yang mereka gunakan hanyalah logika empiris yang berdasarkan pada pengalaman indrawi. Mereka akan menolak logika yang lain, karena mereka hanya percaya pada apa yang bisa dirasakan oleh Indra.
Penyebarluasan pemikiran berdasarkan pseudosains dan logical fallacy yang memutarbalikkan logika tersebut dapat memengaruhi persepsi masyarakat pada tingkatan subliminal. Persepsi subliminal merujuk pada pengolahan informasi yang terjadi, tanpa kesadaran individu, karena rangsangan diberikan di ambang bawah sadar persepsi dasar. Dengan kata lain, otak menerima dan mengolah informasi, tanpa individu sadari bahwa mereka telah menerima rangsangan tersebut.
Penelitian Naccache dkk (2005) menunjukkan bahwa rangsangan subliminal dapat memicu aktivitas otak, seperti pada amigdala yang berperan dalam respons emosional, meskipun individu tidak menyadari rangsangan tersebut. Efeknya bisa berupa perubahan emosi, motivasi, atau perilaku, meskipun sering kali efeknya kecil dan masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan (Zher-Wen dan Yu, 2023).
Memang, salah satu sifat ilmu pengetahua,n menurut filsafat ilmu, adalah falsifiabel, yaitu dapat dipersalahkan dan diperdebatkan, sehingga ilmu pengetahuan akan selalu berkembang. Namun, perlu logika yang benar, sebelum mempersalahkan dan memperdebatkan satu pengetahuan yang sudah mapan.
Logika yang diputarbalikkan dan penolakan pada ilmu pengetahuan yang mapan akan memengaruhi pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral rakyat. Padahal, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Socrates, sistem politik demokrasi memerlukan rakyat dan pemimpin yang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral.
Kecuali memang rakyat dan pemilih sengaja dibiarkan bodoh agar tidak memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan integritas moral, sehingga demokrasi dapat dikendalikan oleh segelintir elite.
*) Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY




