LINGKUNGAN HIDUP
Masyarakat Adat Bukan Sekadar Angka: Hentikan Perampasan Hutan dan Beri Perlindungan Nyata
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono, menilai pengakuan seluas 1,4 juta hektare tidak akan bermakna jika praktik perampasan hutan adat terus berlangsung.
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah menargetkan pengakuan hutan adat seluas 1,4 juta hektare dalam empat tahun mendatang. Pernyataan itu disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam United for Wildlife Global Summit dan High-Level Ministerial Roundtable di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5 November 2025.
Menurut Raja Juli, target tersebut merupakan bagian dari kepedulian Presiden Prabowo Subianto terhadap lingkungan dan masyarakat yang selama ini termarginalkan. “Pemerintah melalui Satuan Tugas Hutan Adat menargetkan penetapan 240 hutan adat seluas 3,9 juta hektare hingga 2029,” ujarnya.
Namun, masyarakat sipil mengingatkan agar target itu tidak sekadar menjadi angka politik. Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono, menilai pengakuan seluas 1,4 juta hektare tidak akan bermakna jika praktik perampasan hutan adat terus berlangsung.
“Percuma mengakui 1,4 juta hektare hutan adat, tetapi proyek-proyek raksasa mencaplok tanah ulayat yang jauh lebih luas ketimbang angka itu,” tegasnya di Jakarta, Minggu (9/11).
Torry mencontohkan, proyek food estate, hutan energi dan karbon, serta industri ekstraktif masih marak menggusur wilayah adat. Di Merauke, Papua Selatan, misalnya, proyek food estate yang dikemas sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) menggusur hutan adat suku Yei dan Malind Anim.
Sementara di Halmahera Timur, Maluku Utara, warga Maba Sangaji yang menolak proyek tambang justru dikriminalisasi.
“Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara masih berpihak pada kepentingan industri, bukan pada kelangsungan hidup masyarakat adat,” kata Torry.
Senada, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, mengungkapkan adanya masalah serius berupa tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan konservasi. Menurutnya, hal ini membuat banyak pemerintah daerah ragu untuk memberikan pengakuan resmi.
“Kondisi tersebut memicu beberapa pemerintah daerah jadi tidak confident mengakui wilayah adat dan masyarakat adat,” terangnya.
Ia mencontohkan kasus di Colol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Sebagian wilayah perkebunan kopi rakyat dan kampung adat di Colol tumpang-tindih dengan Taman Wisata Alam Ruteng yang memiliki luas lebih dari 32 ribu hektare.
Ketiadaan pengakuan telah memicu konflik berkepanjangan, termasuk peristiwa 'Rabu Berdarah' pada 2004 yang menewaskan enam petani kopi dan berujung kriminalisasi terhadap tokoh adat Mikael Ane. “Rekognisi terhadap wilayah adat seharusnya ditetapkan melalui peraturan daerah, tetapi selama ini banyak daerah masih takut karena berhadapan dengan kebijakan konservasi di bawah Kementerian Kehutanan,” ujar Kasmita.
Kasmita juga menyoroti minimnya koordinasi lintas lembaga pemerintah. “Perlu ada rapat pimpinan para pejabat eselon I di Kementerian Kehutanan yang selama ini belum tampak dalam serangkaian pertemuan bersama Menteri Raja Juli,” imbuhnya.
Sementara itu, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi Terre, menilai target penetapan hutan adat 1,4 juta hektare masih jauh dari cukup.
“Saat ini terdapat 33 juta hektare wilayah adat yang sudah teregistrasi dalam sistem BRWA. Pemerintah perlu meningkatkan komitmen dengan membangun sistem kerja terpadu lintas kementerian, termasuk pemerintah daerah,” katanya.
Erasmus juga mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik perampasan hutan adat yang telah berlangsung lama di berbagai daerah. “Pemerintah mesti menjamin perlindungan bagi masyarakat adat seumur hidup. Mereka telah menjaga hutan tanpa pamrih, sementara hutan mereka terus digunduli atas nama pembangunan,” ujarnya.
Di Papua Selatan, lanjut Erasmus, hutan adat suku Yei dan Malind Anim kini menjadi target proyek industri bioetanol. “Hutan mereka dipandang sebagai objek produksi komersial, padahal di sana hidup masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari alam,” katanya.
Ironisnya, hingga kini belum ada satu pun peraturan daerah yang mengatur perlindungan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, meski proyek besar seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan PSN pangan-energi terus berjalan.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menambahkan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan masyarakat adat tidak pernah diakui selama hutan mereka terus digunduli untuk kepentingan bisnis.
“Masyarakat Adat Yei yang hidup di sekitar perkebunan tebu justru dikriminalisasi dan diancam pasal pidana. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegasnya.
Franky menambahkan, pemerintah tidak boleh menjadikan masyarakat adat sebagai alat diplomasi dalam perundingan politik atau negosiasi pendanaan internasional. “Pemerintah harus secara konkret memenuhi hak hidup dan menjamin perlindungan sepenuhnya bagi masyarakat adat,” ujarnya.
Para aktivis sepakat bahwa langkah konkret yang mendesak dilakukan adalah mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Regulasi itu dianggap lebih penting untuk mengakhiri rezim pengakuan bersyarat yang menghambat perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber kehidupannya.
Masyarakat adat bukanlah angka statistik untuk dilaporkan di forum dunia. Mereka merupakan penjaga hutan sejati yang selama berabad-abad telah menjaga keseimbangan alam.
Untuk itu, pemerintah dituntut tidak hanya menargetkan hektare pengakuan, tetapi memastikan bahwa setiap jengkal hutan adat benar-benar bebas dari perampasan dan dilindungi sepenuhnya oleh negara.
Editor:
JEKSON SIMANJUNTAK
JEKSON SIMANJUNTAK