LINGKUNGAN HIDUP

Meneguhkan Peran Mangrove dan Karbon Biru untuk Masa Depan Iklim Global

Belantara Foundation bersama Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana dan Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan menyelenggarakan Belantara Learning Series Episode 14 (BLS Eps.14) dengan tema “Mangrove Ecosystems and the Future of Blue Carbon”.
Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Belantara Foundation dan Universitas Pakuan Bahas Karbon Biru Ekosistem Mangrove dalam Seminar/Webinar Internasional. Foto: Istimewa untuk apakabar.co.id
Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Belantara Foundation dan Universitas Pakuan Bahas Karbon Biru Ekosistem Mangrove dalam Seminar/Webinar Internasional. Foto: Istimewa untuk apakabar.co.id
apakabar.co.id, JAKARTA - Belantara Foundation bersama Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana dan Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan menyelenggarakan Belantara Learning Series Episode 14 (BLS Eps.14) dengan tema Mangrove Ecosystems and the Future of Blue Carbon

Acara yang berlangsung pada Kamis, 20 November 2025 itu digelar secara hibrid di Auditorium Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan dan melalui Zoom. Antusiasme peserta sangat tinggi, dengan total 908 peserta, terdiri atas 527 daring dan 381 luring. 

Selain peserta dari Indonesia, seminar ini juga diikuti peserta dari Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, dan Timor Leste.

Peserta luring berasal dari enam universitas kolaborator yang menggelar program “Nonton dan Belajar Bareng”, yaitu Universitas Pakuan, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Tanjungpura, dan Universitas Nusa Bangsa. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa isu mangrove dan karbon biru semakin mendapat perhatian luas dunia akademik di Indonesia.

Dalam keynote speech, Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Perairan Darat KLH/BPLH, Puji Iswari, menegaskan pentingnya hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. 

“PP 27/2025 memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/11).

Ia menambahkan, “pengelolaan mangrove kini harus berbasis kesatuan lanskap yang mencerminkan keterkaitan darat–laut, biofisik, dan sosial ekonomi.” Regulasi ini diharapkan mendorong langkah konkret untuk memperbaiki kualitas ekosistem pesisir Indonesia.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna, menjelaskan nilai penting ekosistem mangrove dalam konteks perubahan iklim. “Mangrove adalah salah satu ekosistem paling produktif dan berharga di bumi,” katanya. 

Selain menopang keanekaragaman hayati dan stabilitas garis pantai, mangrove berperan besar dalam penyerapan karbon. Menurutnya, “ketika mangrove rusak, karbon dalam jumlah besar dilepas ke atmosfer dan memperburuk perubahan iklim.” 

Ia juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin global. “Dengan memadukan konservasi, pemberdayaan masyarakat, dan kebijakan karbon biru, kita dapat menunjukkan bagaimana solusi berbasis alam mampu menciptakan masa depan yang lebih tangguh," terang Dolly.

Dari sisi riset, Peneliti Ahli Utama BRIN, Virni Budi Arifanti, menekankan perlunya pendekatan ilmiah dan partisipatif. “Pengelolaan mangrove harus berbasis bukti ilmiah dan melibatkan masyarakat lokal,” tegasnya. 

Ia mengingatkan bahwa “jasa lingkungan dan sosial ekonomi dari mangrove adalah aset yang harus dijaga demi keberlanjutan generasi mendatang.”

Senada, Rektor Universitas Pakuan, Prof. Didik Notosudjono, menyoroti peran penting perguruan tinggi. “Akademisi adalah katalisator dalam perlindungan mangrove,” ucapnya. 

Melalui riset, inovasi, dan pendidikan, perguruan tinggi dapat memastikan ekosistem mangrove terus berkembang secara berkelanjutan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Regional Coordinator Coastal and Marine Asia IUCN, Maeve Nightingale, menggarisbawahi pentingnya kawasan Asia sebagai pusat mangrove dunia. “Asia adalah rumah bagi lebih dari 40% mangrove global,” jelasnya. 

Prof. Didik menambahkan bahwa “Indonesia menyumbang hampir seperempat mangrove dunia, menjadikannya negara kunci dalam upaya konservasi global.”

Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Sri Setyaningsih, menyampaikan harapannya agar kegiatan ini menjadi ruang berbagi ilmu dan pengalaman. “Kami berharap seminar ini memperluas wawasan dan memperkuat kerja sama dalam perlindungan mangrove,” ujarnya. 

Ia juga menyampaikan apresiasinya kepada Belantara Foundation dan para mitra. “Acara ini berhasil karena dukungan banyak pihak.”

Acara ini semakin menarik dengan hadirnya narasumber internasional, antara lain Prof. M. Monirul H. Khan dari Bangladesh, Prof. Irfan Aziz dari Pakistan, dan Kanchan Pawar dari India, yang berbagi pengalaman pengelolaan mangrove di negara masing-masing. Diskusi dipandu oleh Prof. Sata Yoshida Srie Rahayu dari Universitas Pakuan.

Melalui BLS Eps.14, seluruh pembicara sepakat bahwa ekosistem mangrove dan karbon biru merupakan kunci ketahanan pesisir dan solusi iklim masa depan. Kolaborasi lintas negara, lembaga, dan disiplin menjadi fondasi penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem yang vital bagi kehidupan manusia ini.