LIFESTYLE

Sidat Jawara Kandungan Omega-3, Salmon dan Gabus Lewat

Foto ikan Sidat. Foto: KKP
Foto ikan Sidat. Foto: KKP
apakabar.co.id, JAKARTA - Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gadis Sri Haryani mengungkapkan ikan sidat memiliki kandungan omega-3 (DHA dan EPA) tertinggi dibandingkan salmon dan gabus.

Gadis menjelaskan DHA (asam dokosaheksaenoat) berperan penting dalam perkembangan dan fungsi otak. Sementara EPA (asam eicosapentaenoat) membantu mengurangi peradangan dan menjaga kesehatan jantung. Di samping itu, ikan sidat juga kaya vitamin A, vitamin B kompleks, zat besi, protein, kalori, dan fosfor.

"Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (18/11).

Gadis mengatakan pendekatan pengelolaan berkelanjutan dan berbasis sains (science-based management) dapat mengurangi eksploitasi berlebih yang dapat mengancam populasi ikan sidat di masa mendatang.
Ia menilai hal tersebut penting untuk diperhatikan, sebab ikan sidat yang tergolong biologi kritis atau siklus hidup katadromus, menjadi salah satu sumber daya perikanan yang memiliki potensi ekonomi strategis di Indonesia.

"Katadromus artinya dia ketika telur dan menetas di laut menjadi leptocephalus atau larva belut yang unik, memiliki bentuk pipih, transparan, dan seperti daun serta tidak punya kemampuan berenang," jelas dia.

"Kemudian selama perjalanan dari perairan laut dalam ke estuari atau badan air semi tertutup yang berada di muara sungai, di mana air tawar dari sungai bercampur dengan air laut, dia berubah menjadi sidat kaca atau glass eel," lanjut Gadis.

Menurut Gadis, tingginya permintaan pasar dan tekanan penangkapan glass eel di alam menimbulkan permasalahan terkait kelestarian populasi sidat di Indonesia.

Mulai dari glass eel liar yang ditangkap berlebihan, perubahan lingkungan muara, dan pola migrasi yang terganggu, serta perubahan pola musim panen mengakibatkan ketersediaan pasokan untuk industri menjadi tidak stabil.

"Ketersediaan pasokan glass eel ini mengakibatkan harga fluktuatif di lapangan, dari harga tinggi hingga harga terendah. Bahkan, ada kalanya glass eel tidak terserap di pasar industri karena kapasitas hatchery yang sudah tidak dapat menampung," ungkap dia.
Maka dari itu, Gadis menekankan tata kelola ekologi adalah fondasi hilirisasi industri sebagai sinergi mutlak, yang mencakup implementasi rencana aksi nasional, penerapan konservasi berbasis bukti ilmiah, dan perlindungan terhadap struktur serta fungsi alami ekosistem perairan.

Dengan demikian, menurutnya, ketahanan ekologi dapat tercipta ketika populasi sidat terjaga dan pulih sehingga ekosistem tetap sehat. Sementara ketahanan ekonomi terwujud melalui industri sidat bernilai tinggi yang stabil dan kompetitif di pasar global.

"Pada akhirnya, pemanfaatan sidat yang bertanggung jawab akan menciptakan nilai tambah sekaligus menjaga kelestarian laut dan perairan tawar Indonesia sebagai fondasi masa depan bangsa," pungkasnya.