EKBIS

Apindo Soroti Sektor Riil Dalam Negeri Masih Loyo

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Foto: Apindo
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Foto: Apindo
apakabar.co.id - JAKARTA - Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto menilai, sektor riil masih belum bekerja secara optimal sebagai motor perekonomian nasional.

Beberapa tantangan struktural, termasuk rendahnya serapan tenaga kerja formal, tingginya biaya usaha, dan kompleksitas birokrasi, masih menjadi penghambat daya saing sektor ini. Termasuk masih rendahnya serapan tenaga kerja formal, tingginya biaya usaha, dan kompleksitas birokrasi, masih menjadi penghambat daya saing sektor ini.

Anne juga menyoroti rendahnya serapan tenaga kerja formal di sektor pertanian. Meskipun sektor ini telah menyerap 40 juta pekerja, hanya sekitar 12 persen dari pekerja pertanian yang masuk kategori formal, jauh lebih rendah dibanding sektor manufaktur, akomodasi, layanan, dan makanan.

"Mungkin ini juga salah satu sebabnya (pemerintah) tetap harus menurunkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sampai sekian juta penerima. Itu karena pekerja formal baru terserap 12 persen," ujarnya dalam Forum Diskusi Capaian Satu Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih di Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin (20/10).
Anne menyebut fenomena itu mencerminkan pergeseran ekonomi dari komoditas padat karya ke sektor padat modal, meskipun pemerintah sebelumnya menekankan pentingnya mendorong komoditas padat karya sebagai motor ekonomi.

Selain persoalan tenaga kerja, tingginya biaya usaha menjadi sorotan. Suku bunga pinjaman di Indonesia berada di kisaran 8-14 persen, jauh di atas rata-rata lima negara besar ASEAN yang berkisar 4-6 persen.

Biaya logistik juga mencapai 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dibanding Malaysia (13 persen), China (16 persen), maupun Singapura (8 persen). Tagihan listrik pun relatif mahal, sebesar 0,099 dolar AS per kWh, di atas Bangladesh (0,087 dolar AS), China (0,087 dolar AS), dan Vietnam (0,075 dolar AS).
Ia menegaskan bahwa perbaikan birokrasi dan perizinan menjadi kunci agar sektor riil lebih efisien dan kompetitif.

"Kita ini kalau dibandingkan dengan Vietnam atau Singapura funding cost kita sangat besar. Jadi, jika kita ingin bersaing, terutama di industri yang membutuhkan modal besar, kita harus melakukan upgrade diri, baik dari sisi tenaga kerja maupun kementerian terkait," tambahnya.

Anne juga menekankan kesiapan dunia usaha bekerja sama dengan pemerintah untuk mendukung debottlenecking struktural di sektor riil. Dengan biaya lebih kompetitif, prosedur perizinan yang jelas, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, sektor riil Indonesia berpotensi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

"Kita juga bisa lebih efisien dari mereka. Bukan lebih efisien, tapi sama-sama efisien dengan negara lain, tapi yang terpenting adalah fondasi di Indonesia. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. Masalahnya sekarang adalah apakah bangsa ini mau mendukung kemauan itu," ucapnya.