Badai Tarif Trump Bikin Industri Sawit Panas-Dingin

Pekerja mengangkut tandan buah kelapa sawit di kawasan PT Perkebunan Nusantara IV, Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (24/10/2024). Foto: Antara

apakabar.co.id, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan (Sumsel) mengungkapkan tarif kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dinilai dapat mengancam industri kelapa sawit di Indonesia.

Pasalnya, kenaikan tarif ekspor ke AS akan turut membuat produk kelapa sawit Indonesia akan mengalami tekanan. Kondisi tersebut yang menjadikan kelapa sawit Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global.

“Kebijakan ekspor AS ini berpotensi menurunkan volume ekspor dalam jangka pendek dan berdampak langsung pada pendapatan petani. Secara luas lagi pada pendapatan daerah,” kata Ketua GAPKI Sumsel, Alex Sugiarto dikutip Rabu (9/4).

Baca juga: KSPI Waspadai Gelombang PHK di Tengah Badai Tarif Trump

Selain itu, kata Alex, kenaikan tarif tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya bagi pelaku ekspor komoditas kelapa sawit.

Karena itu, GAPKI Sumsel berharap agar pemerintah dapat segera melakukan negosiasi perdagangan dengan AS untuk meminimalisir risiko tarif yang tinggi.

Langkah dan kebijakan strategis pemerintah dalam menanggapi keputusan Donald Trump tersebut akan berdampak pada laju ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang selama ini dilakukan Indonesia.

“GAPKI Sumsel berharap ada kebijakan insentif keuangan, seperti keringanan pajak ekspor, pungutan ekspor juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, agar dapat membantu mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan volume permintaan akibat dampak kenaikan tarif AS,” jelasnya.

Baca juga: KSPSI: Pemerintah Perlu Bangun Kebersamaan Hadapi Tarif Trump

Meski selama ini ekspor CPO ke AS bukanlah yang terbesar dibanding dengan pasar ke India, Tiongkok, atau Pakistan, namun hal itu harus menjadi momentum dalam memperkuat hilirisasi industri sawit.

“Ada potensi besar untuk inovasi dan hilirisasi sawit di Sumsel, karena posisinya yang strategis secara geografis dan ditambah pemerintah daerah sangat supportif dalam pengembangan industri kelapa sawit,” ujarnya.

Alex mengatakan, kebijakan minyak sawit dari Indonesia akan tetap menjadi pilihan yang baik bagi importir AS. Hal ini terjadi karena AS juga memberlakukan kebijakan pajak impor yang tinggi bagi minyak nabati lainnya.

“Dari kebijakan ini juga bisa melihat potensi lain, dimana kita menunggu kebijakan berikutnya dari Tiongkok. Ada potensi Tiongkok mengenakan tarif tinggi pada kedelai AS sehingga dapat mengakibatkan Tiongkok mengimpor lebih banyak produk minyak sawit, daripada kedelai AS,” pungkasnya.

12 kali dilihat, 12 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *