apakabar.co.id, JAKARTA – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didin S. Damanhuri mengungkapkan selama 10 tahun atau satu dasawarsa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Indonesia mengalami proses deindustrialisasi.
Hal itu tak sebanding dengan pertumbuhan industri manufaktur di masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Periode tersebut, pertumbuhan industri bisa mencapai 12-14 persen per tahun. Jumlah tersebut jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar 7-8 persen.
Sedangkan pada saat reformasim pertumbuhan industri manufaktur justru hanya mencapai 4 persen. Bahkan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya sebesar 5 persen. Akibatnya, kondisi tersebut berimbas pada kemampuan sektor industri menyerap tenaga kerja yang mengalami penurunan.
“Jadi ini situasi yang dihadapkan Presiden Prabowo sangat berat. Kebijakan industrialisasi 10 tahun terakhir di era Jokowi sangat tidak kondusif. Banyak kontroversi dan drama politik dan berakhir pelaksanaannya yang pragmatis,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Senin (23/9).
Baca juga: Ekonom Senior Bocorkan 6 Syarat Pertumbuhan Ekonomi Tembus 8 Persen
Pendiri INDEF tersebut juga menyoroti proyek-proyek besar yang ambisius yang dibangun era Jokowi seperti kereta cepat WHOOSH dan Ibu Kota Nusantara (IKN), justru tidak terintegrasi dengan kebijakan industrialisasi yang lebih luas.
Karena itu, kata Didin, pemerintahan selanjutnya perlu mengakselerasi kebijakan industrialisasi agar lebih kondusif. Syaratnya, di antaranya perlu menjaga stabilitas ekonomi makro dan memperbaiki iklim investasi baik di sektor keuangan maupun sektor rill.
“Termasuk mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur yang relevan, hingga menguatkan skema kerja sama pembiayaan investasi dengan swasta baik asing maupun nasional,” ujarnya.
Selain itu, proses reindustrialisasi perlu melakukan tiga misi sebagai fokus utama. Pertama, dengan meningkatkan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distrkubusi dari pengolahan aset dan akses.
Kedua, kata Didin, perlu mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran, serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing ekonomi.
Terakhir, ketiga, perlu mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global.
“Problem Indonesia yang saat ini di bawah Malaysia, apalagi di bawah Singapura. Bukan disebabkan karena kurangnya sumber daya alam dan pakar, tetapi Indonesia terjebak pada perusakan ekologi dan marginalisasi ekonomi rakyat,” pungkasnya.