apakabar.co.id, JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai penggunaan rendah karbon yang diiringi dengan transisi energi berkelanjutan dapat berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menanggapi visi misi tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) 2024 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 5-7 persen.
“Kan semua Paslon itu ngomong mau pertumbuhan ekonomi 7 persen, ada studi Bapennas di tahun 2019 yang menunjukkan Indonesia hanya bisa tumbuh di atas 6 persen, kalau kita mengintegrasikan penggunaan rendah karbon,” ucapnya dikutip Kamis (8/2).
Rendah karbon yang dimaksud mengacu pada pembanguna dan operasionalisasi bangunan dengan tingkat emisi karbon rendah sampai nol.
Ini dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dalam infrastruktur bangunan.
Selain itu, upaya tersebut juga berhubungan dengan penurunan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Hal ini dianggap penting karena emisi gas rumah kaca dan polusi udara dapat berkontribusi pada berbagai masalah, termasuk stunting (masalah gizi pada anak) dan kerusakan lingkungan seperti deforestasi.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut, penting untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
“Kita harus menurunkan intensitas emisi untuk setiap pertumbuhan EBT (energi baru terbarukan); menurunkan emisi gas rumah kaca, energi fosil, polusi udara karena itu menjadi penyebab stunting; meningkatkan bauran energi terbarukan; hutan harus kita pelihara,” jelas Fabby.
Minim Pemahaman Transisi Energi
Fabby menyayangkan kurangnya pemahaman yang utuh dari calon presiden dan wakil presiden terkait dengan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan.
“Saya belum melihat bahwa mereka semua Paslon itu punya pemahaman yang utuh terhadap apa yang diperlukan Indonesia untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan,” ujar Fabby.
Fabby juga menekankan perlunya komitmen politik untuk mencapai target zero emission pada tahun 2060 di sektor energi dan 2050 di sektor kelistrikan.
Ia juga menyoroti pentingnya akselerasi energi terbarukan hingga 40-45 persen pada tahun 2030 serta penurunan penggunaan energi fosil, terutama PLTU, sebelum tahun 2045.
Transisi energi bukan hanya tentang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga tentang menciptakan peluang baru untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
“Karena kembali periode 2024 sampai 2029 itu adalah periode kritikal untuk kita meletakkan fondasi bagi akselerasi transisi energi. Jadi, kalau ini enggak dilakukan dengan baik, transisi energi Indonesia akan kedodoran,” pungkasnya.