apakabar.co.id, JAKARTA – Salma (bukan nama sebenarnya) mendadak menjadi pribadi pemurung dan lebih tertutup dari sebelumnya. Tatapan dan pikirannya lebih sering kosong. Ia mengalami depresi dan menjadi pribadi yang lebih agresif. Kemarahannya lebih sering meledak-ledak.
Sesekali ia bahkan menusuk-nusuk boneka di kamarnya dengan menggunakan benda tajam yang ada di sekitarnya. Sempat terbesit ingin melukai tangannya, adiknya yang saat itu di kamarnya bergegas mencegahnya. Salma menangis dengan tubuh bergetar.
Berdasarkan hasil diagnosis sementara dokter, Salma mengalami kepribadian mengambang (Borderline Personality Disorder). Salma mengalami gangguan mental akibat pinjaman online (pinjol) yang menjeratnya pada 2020-2021.
“Kondisi mentalku hancur banget dan setiap bangun tidur rasanya hampa banget,” kenang Salma saat ditemui apakabar.co.id di Jakarta akhir November 2024.
Salma memulai debutnya sebagai pengguna pinjol dengan memanfaatkan limit saat itu sebesar Rp700 ribu. Uang tersebut digunakannya untuk membeli pulsa, make up, dan power bank.
Tak butuh berjam-jam untuk mencairkan uang pinjol. Salma cukup mengisi identitas diri beserta kontak darurat yang dapat dihubungi.
Proses pencairan yang tergolong mudah, membuatnya menaikan pinjaman hingga Rp10 juta. Secara bertahap ke sebanyak sepuluh platform pinjol. Tenor pelunasannya beragam, dari enam bulan hingga satu tahun.
Baca juga: Pinjol Sasar Generasi Z, OJK Masifkan Gerakan Literasi
Uang pinjaman tersebut, 90 persen digunakannya untuk membantu membayar motor milik kekasihnya saat itu. Aktivitas gali tutup lubang hutang tersebut dilakoninya hingga berbulan-bulan lamanya.
Perempuan berusia 26 tahun ini merupakan pekerja kontrak di bidang operator dan keuangan. Upah yang dikantonginya dalam rentang Rp2,5 juta-Rp3,1 juta per bulan, tak mampu menutupi hutangnya di pinjol.
“Saat itu aku juga nyambi kuliah. Terpaksa juga menggunakan uang kuliah buat nutupin hutang pinjol. Dampaknya, akhirnya aku cuti kuliah,” ungkapnya.
Sementara itu, pinjaman berantai di sepuluh pinjol, satu per satu tak mampu dibayarkan. Perlahan hutang beserta bunga yang ditanggungnya semakin menggunung hingga nyaris menyentuh Rp100 juta.
Di tengah kondisi itu, Salma kemudian dibanjiri teror dari debt collector. Nyaris tiap jam ponselnya terus berdering. Kala ponsel tak diangkat, pesan berantai berisi umpatan masuk ke ponselnya.
“Hai mony#t! Kapan lu mau bayar! Lu gak malu? Bayar hutangmu!” kata Salma menirukan pesan dari debt collector.
Serangkaian teror yang dialaminya itu yang menjadi pemicu Salma mengalami gangguan mental. Jerat pinjol yang dialaminya kemudian terungkap oleh orangtuanya saat debt collector mendatangi rumahnya sembari membawa rincian pinjaman.
“Papa dan pamanku yang menemui debt collector. Untungya yang datang orangnya komunikatif banget,” ujarnya.
Dengan bantuan orangtuanya, sisa pinjaman Salma kini sebesar Rp8 juta dari dua platform pinjol. Jumlah tersebut merupakan biaya denda dari sisa akumulasi pinjaman yang sebelumnya sempat menunggak.
“Aku sudah gak pakai pinjol lagi, tapi dampaknya masih terasa sampai sekarang,” ungkapnya.
Baca juga: Hindari Pinjol, Menkeu Minta Masyarakat Saring Informasi
Sumber apakabar.co.id lainnya, Norma juga memiliki pengalaman serupa mengenai pinjol. Norma merupakan seorang pekerja profesional di bidang media sosial. Upah yang dikantonginya sebulan sebesar Rp8,5 juta, juga tak mampu menutupi kebutuhan hidupnya.
Norma mengaku menggunakan pinjol sejak 2020. Dia merupakan salah satu generasi sandwich. Sebuah istilah yang merujuk pada kelompok atau seseorang yang turut menanggung kebutuhan hidup seluruh keluarganya secara penuh.
Gajinya selain disisihkan untuk memberi ibunya, digunakan juga buat membayar biaya kuliah adiknya. Begitu pun kakaknya yang terkadang meminjam uangnya walau berakhir tak kembali. Norma juga dibebani dengan perabotan rumah tangga yang dibelinya secara kredit.
“Termasuk membayar cicilan rumah di kampung. Sertifikat rumah terpaksa digadaikan buat kebutuhan keluarga di rumah,” ungkapnya.
Jerat pinjol semakin kuat mengikat Norma pada 2021. Uang tabungan yang dikumpulkan bersama suaminya tak mencukupi membayar biaya lahiran anak pertamanya. Biaya semakin membengkak karena ia melahirkan dalam kondisi preeklamsia. Komplikasi kehamilan yang membuatnya harus dioperasi sesar.
Termasuk berat badan anaknya yang jauh dari ideal, membuat anaknya perlu mendapatkan perawatan intensif di ruang inkubator selama kurang lebih tiga minggu.
“Tabungan yang kita kumpulkan di luar prediksi. Kondisi bayiku perlu mendapatkan perawatan intensif. Biaya semakin membengkak. Akhirnya aku pinjam ke pinjol Rp10 juta,” kata perempuan berusia 32 tahun tersebut.
Baca juga: Rendahnya Literasi Keuangan Jadi Penyebab Tingginya Korban Pinjol
Norma merasakan gelisah di tengah kondisinya saat menjalani proses pemulihan setelah operasi sesar. Tak tega dengan kondisi Norma, suaminya kemudian memilih balik ke kampung halaman untuk menemani proses pemulihan Norma. Termasuk mengawasi perkembangan anak pertamanya selama dirawat di rumah sakit.
Di sisi lain, perawatan intensif yang dijalani anaknya melebihi 3 hari membuat suaminya memutuskan keluar dari pekerjaannya karena ingin menemani istri dan anaknya di rumah sakit. Beban keuangan keluarganya semakin bertambah.
“Kondisi aku sebelumnya ditambah usai melahirkan anak dengan biaya tidak sedikit membuat rata-rata pembayaran per bulan sebesar Rp2,9 juta. Pernah juga sampai Rp4,9 juta,” katanya.
Meski tak sampai didatangi debt collector, Norma mengaku baru pertengahan 2024 ini dia baru bisa melepaskan diri dari jerat pinjol.
“Hutang bikin hidup tak tenang,” jelasnya.
Ketidakadilan Sistem Pengupahan
Berdasarkan penelusuran apakabar.co.id di data statistik layanan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) per Agustus 2024, jumlah rekening penerima pinjaman terbesar mencapai 11.865.598 penerima dengan kategori usia 19-34 tahun.
Adapun berdasarkan kategori usia 35-54 tahu jumlah rekening pinjaman mencapai 7.383.303 penerima. Sementara itu sisa dua kategori lainnya untuk usia kurang dari 19 tahun dan lebih dari 55 tahun, secara komulatif jumlah rekening pinjaman berjumlah 847.730 penerima.
Dengan begitu, dua kategori teratas yakni usia 19-34 tahun dan usia 35-54 tahun cukup mendominasi jumlah peminjam dana pinjol. Dua kelompok usia tersebut masuk dalam kategori usia pekerja produktif.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Unang Sunarno mengungkapkan berdasarkan survei komponen hidup layak (KHL) yang dilakukan KASBI bersama Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) upah layak untuk kebutuhan riil pekerja lajang sebesar Rp7 juta.
“Sedangkan untuk pekerja yang sudah berkeluarga dan memiliki anak 1-3 anak upah layak untuk kebutuhan riil pekerja sebesar RpRp9-15 juta,” ungkapnya kepada apakabar.co.id.
Baca juga: Sederet Faktor Generasi Muda Terjerat Pinjol dan Investasi Bodong
Namun, realitasnya para pekerja tidak mendapatkan upah layak yang semestinya. Akibatnya, para pekerja melakukan kerja sampingan dengan menambah durasi kerja agar dapat uang lembur, menjadi pengemudi ojek online (ojol), dan pedagang dadakan.
“Kalau tuntutan kenaikan upah punya kekhawatiran tersendiri dengan sistem pengupahannya yang masih buruk. Yang dikhawatirkan disparitas gaji semakin jauh,” katanya.
Terlebih dari upah yang dikantongi pekerja saat ini terdapat sejumlah potongan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja. Totalnya bisa mencapai 4 persen dari upah yang dibayarkan perusahaan ke pekerja.
Apalagi bila iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diterapkan, akan berpotensi menambah potongan upah pekerja sebesar 2 persen.
“Kalau kawan-kawan buruh yang terjerat pinjol dia tidak ada pemasukan lain. Tapi cuma mengandalkan gaji UMK. Kondisinya seperti itu,” jelasnya.
Tantangan Industri Fintech
Head Regulatory & Compliance Easycash, Tubagus Rahmad Adrian menerangkan total pinjaman yang terutang per Oktober 2024 Easycash saat ini sebesar Rp5,65 triliun. Adapun total pinjaman secara akumulatif sejak didirikan sebesar Rp59,69 triliun. Sedangkan total akumulasi pinjaman pada 2024 sebesar Rp19,95 triliun.
“Kalau total akumulasi peminjam sebanyak 6.938.372 peminjam. Sedangkan jumlah peminjam aktif sebanyak 1.376.200 peminjam,” ungkapnya.
Meski begitu ia mengungkap saat ini industri fintech peer-to-peer (P2P) lending mengalami sejumlah tantangan. Pertama, menjamurnya pinjol ilegal. Bahkan sejak 2017 hingga Juni 2024 OJK bersama Satgas PASTI telah memberantas 8.271 pinjol ilegal.
“Kalau Easycash sudah berizin dan diawasi oleh OJK sejak Oktober 2020,” ujarnya.
Baca juga: OJK Ingatkan Generasi Muda agar Cerdas Berinvestasi
Kedua, reputasi industri yang kurang baik. Tubagus menerangkan reputasi perusahaan dan kemampuan untuk menarik pengguna sangat penting dalam menghadapi tantangan industri pinjaman online.
Ketiga, masih rendahnya pemahaman mengenai produk keuangan terutama fintech. Hal itu membuat masyarakat rentan salah menggunakan fintech. Termasuk kesulitan membedakan platform resmi dan ilegal.
“Itulah yang menjadi tantangan bagi industri fintech P2P lending,” ujarnya.
Tips Mengelola Keuangan
Perencana Keuangan, Mike Rini menerangkan besarnya persentase usia pekerja produktif sebagai pengguna pinjol disebabkan dalam kondisi sebagai generasi sandwich. Selain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan anaknya, mereka juga membiayai kebutuhan orangtua dan saudaranya.
Di sisi lain, para pekerja produktif saat ini juga menggandrungi peminjaman untuk kebutuhan produktif seperti pembelian kredit rumah, kendaraan, laptop dan kebutuhan lainnya. Kondisi tersebut yang menggerus kemampuan menabung mereka.
“Maka beban individu di usia produktif semakin besar, yang mendorong mengapa mereka menggunakan pinjol karena ketidaksiapan individu dan keluarga saat dihadapkan dengan pengeluaran darurat seperti sakit dan bencana. Dana cadangan sudah habis buat bayar cicilan,” katanya kepada apakabar.co.id.
Founder dan CEO Mitra Rencana Edukasi tersebut mengingatkan agar pekerja produktif tidak terlalu konsumtif untuk hal yang tidak perlu. Mike mencontohkan hal yang dimaksud seperti membeli barang-barang yang bukan untuk kebutuhan primer, makan-makan di luar, hingga jalan-jalan ke luar kota.
Karena itu, Mike menyarankan perlunya visi keuangan jangka panjang dalam rentan waktu 10-15 tahun. Visi keuangan tersebut perlu dipersiapkan, misalnya dapat digunakan untuk usaha atau dana pensiun.
Termasuk mengajarkan anak-anak untuk hidup sederhana dan menyisihkan uangnya untuk ditabung. Sedangkan yang masih memiliki tanggungan kepada orangtua dan saudara, perlu juga untuk disampaikan agar masalah keuangan dapat diselesaikan secara gotong royong.
“Sebenarnya orang yang terjerat pinjol karena kebutuhan hari ini saja. Mereka tidak punya visi keuangan jangka panjang,” pungkasnya.