Dalih Transisi Energi, Deforestasi Kian Marak di Gorontalo

Wood Pellet adalah salah satu bahan bakar alternatif yang terbuat dari serbuk kayu, atau bahan kayu. Umumnya bahan bakar yang satu ini digunakan sebagai salah satu alternatif bahan bakar pengganti batubara. Foto: menlhk.go.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Ada yang berbeda dengan hutan Gorontalo saat ini. Meskipun dilimpahi kekayaan alam yang luar biasa, hutan Gorontalo mengalami ancaman tersembunyi, deforestasi terencana.

Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat deforestasi di Provinsi Gorontalo pada periode 2017-2021 mencapai 33.492 hektare. Dari jumlah itu, terdapat 696.631 hektare hutan alam yang perlu dijaga kelestariannya.

Deforestasi yang terjadi bertolak belakang dengan komitmen pengurangan emisi nasional melalui transisi energi. Hal itu telah mendorong hadirnya deforestasi secara masif.

Hal itu terbukti dari temuan FWI (2024) yang menunjukan tren deforestasi di Gorontalo, tepatnya di Kabupaten Pohuwato melonjak signifikan dalam kurun waktu 2021 – 2023.

Deforestasi, menurut data FWI, terjadi di dalam konsesi PT. Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dengan luasan 1.105 hektare. PT BTL berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01 Tahun 2022 pada lampiran I dan lampiran II merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah mendapatkan pemutihan izin.

Hasil penelusuran FWI sepanjang Oktober 2023 hingga Februari 2024 pada Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) KLHK menemukan adanya data ekspor wood pellet dari Indonesia.

“Diketahui Kabupaten Pohuwato telah melakukan ekspor wood pellet dengan total produksi 21.066.025 kg dengan nilai 2.833.380 USD,” ujar Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI dalam keterangannya, Sabtu (23/3).

Sementara itu, PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) tercatat sebagai satu-satunya perusahaan di Pohuwato Gorontalo yang melakukan ekspor wood pellet ke 2 negara tujuan utama, yaitu Jepang dan Korea Selatan.

PT BJA, kata Anggi, diduga sebagai bentukan perusahaan PT BTL yang juga sebagai penyedia kawasan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri wood pellet-nya.

“Baik di Indonesia maupun di Jepang dan Korea Selatan, wood pellet digunakan sebagai bahan bakar pengganti batu bara di pembangkit listrik sebagai jalan transisi energi,” terangnya.

Selain PT BTL, terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit lain yang juga mendapatkan pemutihan izin di Kabupaten Pohuwato dari KLHK. Perusahaan itu adalah PT Inti Global Laksana (IGL).

Melalui Surat Keputusan Nomor 566/MENHUT-II/2011 PT IGL mendapatkan pemutihan izin lebih awal dibanding PT BTL. PT IGL dan PT BTL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga sebagai pemasok bagi industri wood pellet oleh PT BJA di Kabupaten Pohuwato.

“Meskipun kedua perusahaan bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit, namun berdasarkan analisis spasial perizinan FWI (2024) yang mengantongi izin HGU hanya PT IGL. Adapun PT BTL belum diketahui telah mengantongi izin HGU,” paparnya.

Sementara itu, laporan Koalisi Walhi (2023) menunjukkan kedua perusahaan kelapa sawit yang telah mendapat pemutihan izin dari KLHK itu, justru mengubah jenis usaha komoditas di lapangan.

Baik PT IGL dan PT BTL telah membangun pabrik industri pengolahan kayu wood pellet dan melakukan penanaman Kaliandra dan Gamal. Kedua jenis tanaman itu dikenal sebagai tanaman energi atau green biomass, bahan baku wood pellet.

“Sayangnya, wilayah kerja kedua perusahaan berdiri di atas hutan alam sehingga pembangunan kebun energi tidak terlepas dari upaya land clearing dan deforestasi,” jelas Anggi.

Jika dihitung, luas hutan alam sekitar 17,70 ribu hektare di dua konsesi tersebut direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk memenuhi kebutuhan ekspor wood pellet ke negara Jepang dan Korea Selatan.

Biomassa kayu
Indonesia membutuhkan biomassa kayu setidaknya mencapai 8 sampai 14 juta ton wood pellet setiap tahunnya. Kebutuhan itu untuk menggantikan energi batu bara dalam porsi 5 sampai 10 persen di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Biomassa kayu, kata Anggi, akan dipenuhi dari upaya pembangunan hutan tanaman energi atau kebun energi. Bahkan KLHK melabeli semua pembangunan hutan tanaman sebagai rehabilitasi hutan dengan rotasi.

FWI menyayangkan implementasi pembangunan hutan tanaman energi dan kebun energi oleh perusahaan yang sejauh ini selalu dengan pembukaan hutan (land clearing).

“Bukan rehabilitasi di lahan kritis seperti yang digembar-gemborkan,” kata Anggi.

Selama ini, banyak perusahaan (perkebunan dan kehutanan) telah mengantongi hutan alam di dalam konsesinya. Oleh karena itu, terang Anggi, deforestasi hutan alam tidak terelakan dalam pemenuhan bahan baku biomassa kayu.

Biomassa kayu sebagai energi (bioenergi) seharusnya tidak dimasukan ke dalam energi terbarukan dan skema apapun dalam transisi energi. Terjadinya deforestasi dalam pemenuhan bahan baku biomassa kayu, ungkap Anggi, selalu diiringi pelepasan emisi yang justru menjauhkan dari target pengurangan emisi dari sektor hutan & penggunaan lahan dan energi.

Transisi energi dengan memanfaatkan biomassa kayu telah mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara masif kedepan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemanfaatan biomassa kayu juga mendorong pasar ekspor terutama ke Jepang dan Korea Selatan.

“Kedua negara itu menguasai komoditas wood pellet dari Indonesia dengan total 23.683.972 kg dalam 5 bulan terakhir. Hal tersebut menggiring pembukaan hutan yang semakin tidak terkontrol di Indonesia,” papar Anggi.

95 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *