[OPINI] Kotak Kosong Nyaring Bunyi-nya

Siti Maulana Hariani. Foto: dok.pribadi

Oleh: Siti Mauliana Hairini

PILKADA 2024 khususnya pada beberapa daerah di Kalimantan Selatan diprediksi akan menghadirkan Kotak Kosong sebagai kontestan yang melawan pasangan calon tunggal.

Pada dasarnya Kotak Kosong bukanlah berwujud kotak suara utuh yang kosong melainkan kolom kosong yang akan bersanding sebagai tandingan calon tunggal dalam surat suara.

Berdasarkan aturan kepemiluan pada prosedur demokrasi lokal, telah ditawarkan tiga pilihan yang menjamin berjalannya proses demokrasi dalam perebutan tahta jabatan politis di pilkada.

Pertama, dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 telah diatur pemilihan calon kepala daerah dapat menggunakan jalur independen atau perseorangan yang dapat berkompetisi melalui mekanisme elektoral lokal tanpa menggunakan partai politik sebagai perahunya.

Dasar hukum tersebut juga mengatur beberapa persyaratan administrasi terutama mengenai kuantitas dan sebaran minimal bukti dukungan berdasarkan jumlah penduduk.

Jalur ini menjadi angin segar bagi individu yang memiliki dukungan besar di masyarakat namun berbanding terbalik dengan di kalangan elit partai politik.

Kedua, pendaftaran calon kepala daerah juga dapat diusung oleh partai politik atau gabungan parpol yang mensyaratkan paling sedikit 20 persen kursi DPRD atau memperoleh 25 persen suara sah dalam pemilu anggota DPRD setempat.

Jalur ini nampaknya menjadi pilihan primadona bagi para bakal calon kepala daerah, mengingat kekuatan mesin partai yang tidak hanya diperlukan pada prosedur elektoral namun juga pasca-pilkada sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan kontrol politik kepala daerah terpilih.

Pilihan ketiga, yaitu ketika dua jalur gagal menjegal esensi kontestasi pada pemilu kepala daerah, maka kotak kosong menjadi jalan ketiga yang bertugas untuk tetap meneguhkan prosedur demokrasi.

Meskipun dalam beberapa pendapat kotak kosong dipandang negatif bagi demokrasi, namun begitulah realitanya. Demokrasi hanya dapat membatasi kepemilikan kuasa namun tidak juga dapat memutuskan secara sepihak bagaimana kekuasaan terbagi.

Fenomena kotak kosong menggambarkan bahwa terdapat beberapa disfungsi kelembagaan demokrasi seperti minimnya pendidikan politik kepada warga negara sehingga menghambat lahirnya calon-calon pemimpin yang berasal dari akar rumput.

Kemudian disfungsi kaderisasi di partai politik juga membuat partai politik semakin pragmatis dalam memberikan dukungannya kepada calon. Hingga kealpaan para intelektual dalam mengawal narasi kepemiluan sebagai penyeimbang narasi yang diproduksi di masyarakat.

Meningkatnya tren calon tunggal di Pilkada Kalimantan Selatan, jika dilihat dari perkembangan politik saat ini maka diramalkan setidaknya lima kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada bersama kotak kosong.

Namun jika dilihat dari perspektif gender, terdapat satu daerah di mana bakal calon tunggal kepala daerah adalah seorang perempuan yang berhasil memborong dukungan dari partai politik,

Di mana berbanding terbalik dengan hasil studi-studi politik perempuan yang mengatakan bahwa partai politik adalah penjegal terbesar bagi kehadiran perempuan di politik.

Sehingga fenomena ini menjadi anomali bagi perempuan itu sendiri, domain politik yang selama ini didominasi oleh laki-laki dapat tergeser begitu saja dengan pragmatisme partai politik.

Pada akhirnya, ketidakstabilan pelembagaan serta keretakan elit dalam proses kaderisasi dipartai politik menjadi peluang bagi eksistensi perempuan yang selama ini terpinggirkan di politik.

Tuntutan 50% perolehan suara seakan berteriak kencang di telinga para calon tunggal terutama mereka yang memiliki elektabilitas rendah.

Meskipun mendapat dukungan besar dari para elit, namun meraih dukungan besar di akar rumput dibutuhkan kerja-kerja politik yang tidaklah mudah.

Bahkan bagi calon tunggal yang memiliki potensi sangat kuat yang secara tidak langsung melemahkan spirit dari kompetitor lainnya juga dituntut untuk tetap menjaga konsistensi performa aktivitas politik dan kampanye mereka untuk dapat meraih suara mayoritas dari pemilih.

Sayangnya, tuntutan ini seakan menjadi berlipat ganda bagi perempuan yang selama ini hanyalah objek dari kekuasaan itu sendiri. Minimnya role model pemimpin perempuan dibandingkan laki-laki turut membentuk citra dan prasangka bahwa perempuan merupakan sosok yang tidak berpengalaman, tanpa kompetensi, sehingga politik dan kepemimpinan bukanlah tempatnya perempuan.

Fenomena Kota Banjarbaru tentu mendapat sorotan khusus. Dikarenakan beban yang akan dihadapi calon tunggal laki-laki dan perempuan menjadi berbeda. Mengingat budaya maskulin yang masih begitu kental bermain di arena politik.

Meskipun pada beberapa pendapat, kotak kosong memberi keuntungan bagi calon tunggal namun beda cerita dengan perempuan yang selama ini menjadi pihak marginal di politik.

Satu hal yang menarik untuk diulas dari kasus calon tunggal perempuan di pilkada ibu kota Kalimantan Selatan ini bahwa beban terbesar bagi perempuan di politik bukan pada domain elit melainkan memperoleh dukungan di tingkat akar rumput.

Maka dari itu kepiawaian personal perempuan akan menjadi krusial untuk dapat beradaptasi dengan berbagai konfigurasi pemangku kepentingan jika tidak mau Kotak Kosong nyaring bunyinya. (*)

Penulis adalah Dosen FISIP ULM

Catatan redaksi: Isi tulisan tidak mewakili pandangan redaksi

168 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *