apakabar.co.id, JAKARTA – Indonesia merupakan negara dengan beragam etnis. Karena itu, tak mengherankan jika bangsa ini memiliki beragam warisan budaya, termasuk budaya pangan lokal.
Koordinator Food Culture Alliance Indonesia Sutamara Lasurdi Noor menyebut warisan tersebut mencakup banyak resep kuno, termasuk metode memasak hingga cara mengonsumsi makanan.
Di banyak daerah, kata Sutamara, terlihat budaya pangan memiliki makna mendalam. Misalnya, menyuguhkan makanan yang melimpah merupakan simbol kemakmuran bagi kelompok masyarakat.
Atau ultra-processed food sering kali dilekatkan pada status sosial yang lebih tinggi di pedesaan dan makanan tradisional menjadi primadona di perkotaan.
“Fenomena itu mencerminkan kompleksitas budaya pangan dan keterbukaan terhadap pangan baru serta keinginan mengeksplorasi rasa dan makna,” ujar Sutamara yang merupakan Project Coordinator Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN Indonesia) di Jakarta, Selasa (17/12).
Budaya pangan kini mencakup lebih dari sekadar tradisi. Budaya tersebut mencerminkan bagaimana masyarakat berpikir, menilai, dan menghargai makanan dalam konteks sosial yang lebih luas.
Hal itu diamini Virginia Kadarsan dari Gastronomi Indonesia Network. Menurut Virginia –yang selama 4 tahun ini membidangi riset di Akademi Gastronomi Indonesia– mengungkapkan budaya pangan lokal memiliki nilai berkelanjutan.
“Kita sedang membangun kesadaran baru yang generatif untuk membangun budaya yang nantinya relevan, yang tujuannya adalah untuk kemajuan,” paparnya.
Sementara itu, pendiri Masak TV Roby Bagindo menilai budaya pangan yang diturunkan oleh nenek moyang bukan hanya sekadar memberi makan raga, namun juga jiwa.
Saat ultra-processed food atau makanan yang diproses secara industri mengepung masyarakat telah menjadikan banyak orang yang sakit. Pada kondisi itu, sejumlah negara mulai mempelajari tradisi makanan nenek moyangnya yang bisa menyehatkan.
“Kita beruntung karena mempunyai makanan purba, hingga kini masih bisa disantap,” katanya.
Makanan nusantara sarat nilai dan makna
Food Culture Alliance mengungkapkan budaya pangan merupakan cara masyarakat memikirkan, menghargai, dan menilai pangan yang dikonsumsi. Hal itu merupakan cerminan dari keyakinan, norma, nilai, dan identitas, baik secara individu maupun masyarakat.
“Budaya ini memberi makna pada makanan melalui simbol, label, dan ritual. Baik itu dalam keseharian maupun momen istimewa,” terang Sutamara.
Sementara itu, Virginia menilai gastronomi Indonesia tidak sekadar soal the art of good eating. “Bicara budaya pangan Indonesia, berarti bicara tentang nilai, kebiasaan, pengetahuan, dan praktik terbaik,” tegasnya.
Ada budaya pangan leluhur yang dibawa ke rumah masing-masing. Dan, semakin dalam mempelajari tradisi, menurut Virginia, hal itu akan semakin baik.
“Sebab, kita akan mampu memahami alasan di balik pembuatan setiap makanan,” paparnya.
Sepaham dengan Virginia, Pendiri Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI) Khoirul Anwar membeberkan tentang arti penting pangan lokal yang terkait pada 2 (dua) aspek. Pertama, pangan lokal yang berarti bahan pangan sebagai potensi di suatu daerah. Kedua, pangan lokal berarti makanan khas dari daerah tersebut.
Makanan di setiap daerah, kata Khoirul, bukan hanya sekadar makanan. Ada nilai dan makna yang tersirat di dalamnya. Hal itu melekat, mulai dari sejarah dan fungsi, yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan tersebut.
“Jika kita pergi ke suatu daerah, kita akan menemukan makanan khas. Kita bisa menelusuri, apa yang mendasari makanan itu ada,” jelasnya.
Menurut Khoirul, selalu ada sejarah yang melatar belakangi mengapa makanan tersebut menjadi khas di daerah tertentu.
Seiring perkembangan zaman, sejumlah nilai dalam budaya pangan mulai bergeser. Virginia mengamati, ada nilai yang pernah ada namun kini tidak dipakai lagi. Pun, ada nilai yang dipertahankan hingga sekarang dan terus dipraktikkan.
“Contohnya, orang makan sambil berjalan pada saat ini dan tidak duduk. Kalau kata orang tua kita dulu, makan harusnya duduk. Tidak boleh berdiri,” jelasnya.
Dari sisi kesehatan, ucap Virginia, makan memang sebaiknya dilakukan dengan posisi duduk. “Kalau makan saja sambil berjalan, mana mungkin sempat berdoa juga, kan?” katanya.
Virginia juga mengamati, banyak ibu-ibu zaman sekarang tidak lagi memasak untuk anaknya. Kebanyakan terjadi di perkotaan, karena alasan kepraktisan, mereka memesan makanan secara online.
“Padahal dengan masak sendiri, banyak hal bisa dicapai. Energi ibu yang mencurahkan seluruh cintanya saat memasak untuk keluarga akan masuk ke dalam makanan,” jelasnya.
Kembali ke selera asal
Sutamara menyaksikan fenomena yang menarik, yakni warga perkotaan mulai menggemari makanan tradisional. Masyarakat urban menilai makanan tradisional sebagai sesuatu yang prestigious karena keberadaannya kini ditemukan di kota-kota besar.
Misalnya, papeda dari Papua dibawa ke Jakarta, atau coto dari Makassar, sekarang mudah ditemui di dalam restoran tertentu.
Kajian Food Culture Alliance menunjukkan ada fenomena sosial yang menarik, ketika orang-orang menyukai eksplorasi rasa. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika makanan seperti burger dan pizza dilabeli sebagai makanan perkotaan, namun seiring waktu makanan tradisional mulai digemari.
“Kebalikan dari masyarakat di wilayah rural yang ingin mencoba makanan kota,” katanya.
Senada, Roby menilai fenomena itu bisa dimaknai dari sudut pandang lain. Misalnya, cara termudah untuk mengenal suku adalah melalui makanannya.
“Misalnya, untuk mengenal orang Yogya, kita bisa mencicipi gudeg,” ucapnya. Apalagi, sejak kecil masyarakat perkotaan terbiasa bertemu orang dari latar belakang budaya yang beragam, sehingga ada rasa ingin tahu tentang makanan mereka.
Lalu di satu titik, kata Roby, setiap orang punya involuntary memory. Misalnya, orang Manado punya pengalaman masa kecil di rumah saat mencicipi ikan woku, sambal dabu-dabu, dan lalampa.
Saat berada di tempat baru, mereka cenderung berkumpul di lingkungan yang sama, mencari memori masa kecilnya itu.
“Itulah mengapa orang Bugis selalu pergi ke Kelapa Gading. Soalnya, berbagai makanan khas mereka ditemukan di sana. Bahkan, rumah makan yang ramai di kota asal pun, ikut membuka cabang di Jakarta,” paparnya.
Roby lalu mengingatkan bahwa bukan baru sekarang saja, makanan nusantara naik kelas. Dulu, ketika Konferensi Meja Bundar di Belanda, Indonesia sudah menyajikan makanan Nusantara sebagai jamuan.
Sejak tahun 1970 hingga ‘90-an, makanan cepat saji masuk ke Indonesia. Hal itu menciptakan budaya pangan Indonesia menjadi ke barat-baratan.
Pasca reformasi, imbuh Roby, ada kesadaran bahwa makanan nusantara itu unik dan menarik. Sejak itu, banyak resto fine dining yang menempatkan makanan nusantara dalam menu mereka.
“Orang seperti baru melihat bahwa makanan tradisional sudah masuk fine dining. Padahal sebenarnya dari dulu sudah ada tempatnya di kelas high end,” pungkas Roby.