NEWS
Alarm TKA 2025 dan Refleksi Hari Guru, JPPI; Saatnya Negara Akui Kegagalan Sistem Pendidikan
Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 kembali menunjukkan kenyataan pahit saat nilai matematika secara nasional merosot dan masih jauh dari harapan. Kondisi itu, meski mengecewakan, sebenarnya tidak mengejutkan.
apakabar.co.id, JAKARTA - Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 kembali menunjukkan kenyataan pahit saat nilai matematika secara nasional merosot dan masih jauh dari harapan. Kondisi itu, meski mengecewakan, sebenarnya tidak mengejutkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai asesmen pendidikan selalu menampilkan pola yang sama—kemampuan akademik siswa stagnan atau bahkan menurun, terutama dalam mata pelajaran dasar seperti matematika.
Sementara itu, refleksi Hari Guru Nasional tahun ini, perhatian publik tertuju pada pernyataan Mendikdasmen yang menyinggung kualitas pengajaran guru matematika.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyayangkan sikap tersebut karena dinilai mengarah pada upaya menyalahkan guru. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, persoalan rendahnya nilai TKA tidak bisa hanya diarahkan pada guru, apalagi mengingat masalah tersebut terjadi di hampir seluruh daerah.
Ubaid menilai kesalahan justru terletak pada sistem pendidikan yang dikelola negara. Ia mengingatkan bahwa jika nilai buruk hanya terjadi di satu sekolah, barulah guru dapat dievaluasi secara spesifik.
Namun ketika fenomena ini bersifat nasional, itu adalah tanda bahwa masalahnya berada pada tataran kebijakan. “Ketika nilai matematika ambruk secara nasional, masalahnya bukan di ruang kelas, melainkan di ruang perumusan kebijakan. Ini bukti kegagalan sistem, bukan kegagalan guru,” kata Ubaid di Jakarta, Selasa (25/11).
Lebih jauh Ubaid mengungkapkan bahwa negara tidak pernah benar-benar menyentuh akar persoalan yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan. Setidaknya ada tiga persoalan besar yang selama ini diabaikan:
Pertama, sistem kasta guru yang merusak. Perbedaan perlakuan antara guru ASN dan honorer, serta antara guru di sekolah negeri dan swasta, membuat profesi guru terbelah dan tidak setara.
Ketidakadilan struktural ini menghambat upaya pemerataan mutu pendidikan. “Bagaimana mungkin mutu pendidikan merata jika guru sendiri diperlakukan tidak adil?” ujar Ubaid.
Kedua, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pabrik guru yang gagal. Sebagai lembaga pencetak tenaga pendidik, LPTK belum mampu menghasilkan guru yang benar-benar siap mengajar.
Menurut JPPI, negara membiarkan kualitas LPTK merosot tanpa reformasi yang berarti. “Menyalahkan guru yang lahir dari LPTK yang bobrok adalah kemunafikan,” papar Ubaid.
Ketiga, pengembangan kapasitas guru yang tidak berkelanjutan. Pelatihan guru sering hanya bersifat formalitas, tidak berjenjang, dan berubah-ubah setiap pergantian menteri.
Akibatnya, tidak ada transformasi kompetensi yang nyata. "Program yang ada hanya menghabiskan anggaran tanpa memperbaiki kualitas pembelajaran," tegas Ubaid.
JPPI juga menyoroti persoalan anggaran yang dianggap sebagai akar dari mandeknya upaya perbaikan. Pengurangan anggaran pendidikan dan pengalihan dana ke program Makan Bergizi (MBG) merupakan keputusan yang tidak tepat sasaran.
JPPI mengapresiasi tujuan mulia program MBG, namun menolak jika dananya diambil dari porsi anggaran pendidikan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru.
Bahkan, pemotongan 20% APBN pendidikan disebut sebagai tindakan yang merugikan masa depan bangsa. “Ini bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tegas Ubaid.
Untuk itu JPPI menuntut agar negara segera berbenah. Alarm dari TKA 2025 menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem.
Atas dasar itu, JPPI, kata Ubaid, menegaskan empat tuntutan utama, yakni hapus diskriminasi dan menyelesaikan persoalan kasta guru dan lakukan reformasi menyeluruh terhadap LPTK.
Selanjutnya bangun sistem pengembangan kompetensi guru yang berkelanjutan. Lalu kembalikan alokasi anggaran pendidikan ke 20% APBN secara penuh.
Sebagai penutup, Ubaid menekankan bahwa menghormati guru bukan hanya melalui seremonial "Hari Guru", melainkan lewat keberanian memperbaiki kebijakan dan memastikan anggaran pendidikan berpihak pada mereka yang berada di garis depan pembelajaran.
"Saatnya benahi sistem yang rusak dan pastikan anggaran pendidikan berpihak pada semua guru, tanpa diskriminasi sekolah-madrasah, negeri-swasta, dan guru ASN-honorer," pungkasnya.
Editor:
JEKSON SIMANJUNTAK
JEKSON SIMANJUNTAK