apakabar.co.id, JAKARTA – Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang nyata dipertontonkan secara luas dalam beberapa hari terakhir.
Ketua Umum ILUNI FHUI Rapin Mudiardjo menilai pertunjukan akrobat dalam proses revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) secara spontan disepakati hanya dalam hitungan jam, pascadikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024. Hal itu membuktikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah mencederai sistem hukum nasional.
Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan itu, kata Rapin, menetapkan terkait persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan calon kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut.
“Putusan ini bertujuan memberikan kejelasan mengenai ambang batas suara sah dalam proses pencalonan,” ujar Rapin dalam keterangannya, Rabu (21/8).
Keputusan Baleg DPR, Pakar: Pembangkangan Konstitusi
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang (UU Pilkada), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK juga mempertimbangkan bahwa syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan.
“Maka, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan,” ujarnya.
Ancaman supremasi hukum
Rapin menilai, alih-alih mematuhi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, tidak lama berselang DPR dan pemerintah melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang justru malah mengesampingkan isi dari Putusan MK dimaksud. Praktik ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia.
Bahas RUU Pilkada di Baleg, Ketua MKMK: Bentuk Pembangkangan Konstitusi
“Tindakan DPR dan Pemerintah yang mengesampingkan Putusan MK ini merupakan tindakan pembangkangan konstitusi,” ujarnya.
Hal ini tentu saja merupakan preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan Putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), hanyalah secarik tulisan tanpa makna.
“Pengabaian Putusan MK ini jelas-jelas merupakan cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia,” katanya.
Tentunya, hal ini akan memiliki dampak yang sangat luas. Negara dengan supremasi hukum yang buruk tentunya akan mendapat stigma negatif secara global.
Babak Baru RUU Pilkada, Baleg-Pemerintah Setuju Diparipurnakan
“Indonesia berpotensi kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional, membuat negara-negara lain enggan menjalin kerja sama di berbagai bidang. Termasuk di bidang ekonomi yang dibutuhkan untuk mendanai berbagai mega proyek yang dikejar oleh pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo,” kata Rapin.
Jika Pemerintah sering mendengungkan keseriusannya mendatangkan calon investor dari dalam dan luar negeri, bagaimana bisa Indonesia mencapai target tersebut jika ekosistem hukum yang ditunjukkan Indonesia jauh dari nilai-nilai demokratis?
“Calon investor tentunya berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di negara yang tidak memiliki ketidakpastian hukum, yang tentunya dapat berimbas pada terhambatnya aliran investasi dan menyebabkan instabilitas ekonomi,” ungkapnya.
Dampak dari lemahnya supremasi hukum juga akan dirasakan di berbagai lini. Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dapat menyebabkan disintegrasi sosial, meningkatnya kejahatan, dan keresahan di kalangan masyarakat. Selain itu, ketidakadilan yang berkelanjutan dapat memicu protes massal dan kerusuhan, yang mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional.
Pembahasan RUU Pilkada, Wakil Ketua Baleg: Bukan Baru Diusulkan
“Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini. Hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elitelit politik di negara ini,” katanya.
Lindungi demokrasi
Supremasi hukum, kata Rapin, harus dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan demokrasi yang sehat dan berkeadilan, demi mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Karena itu, protes keras yang dibuat ILUNI FHUI bukan sekedar ketidakpuasan atas persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Tetapi lebih jauh, ini merupakan bentuk kepedulian sekaligus kekhawatiran ILUNI FHUI atas maraknya rangkaian peristiwa yang mengoyak-ngoyak sistem hukum demi kepentingan politik kelompok tertentu.
Atas pertimbangan tersebut, ILUNI FHUI, kata Rapin, menuntut DPR dan pemerintah selaku penyusun revisi UU Pilkada, untuk mengedepankan materi dan norma yang terdapat dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024.
Polisi Kerahkan Seribu Personel Amankan Aksi di MK hingga Istana Merdeka
ILUNI FHUI juga mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada yang dilaksanakan secara sembrono demi kepentingan politik golongan tertentu jelang Pilkada 2024.
“Terakhir, menghimbau agar seluruh lapisan masyarakat terus mengawal proses revisi UU Pilkada agar selaras dengan norma-norma dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap mengedepankan prinsip ketertiban umum,” pungkasnya.